Senin, 23 November 2009

UPAYA MEMITIGASI INDUSTRIALISASI PERKOTAAN

oleh: Elfidiah (20093602005)


I. Pendahuluan

Latar Belakang Masalah

Berkembangnya industri di dalam negeri disadari mampu memberikan pengaruh positif berupa berkembangnya perekonomian nasional yang selanjutnya akan berpengaruh positif terhadap terbukanya kesempatan kerja yang semakin luas, meningkatnya devisa negara dari ekspor, meningkatnya penerimaan negara baik dari pajak maupun non pajak (PNBP), dan meningkatnya pendapatan per kapita masyarakat. Namun demikian, tumbuhnya industri ternyata membawa efek negatif berupa timbulnya pencemaran lingkungan di daerah atau kota yang terdapat banyak sentra industri. Pencemaran lingkungan umumnya terjadi oleh pencemaran udara

(polusi) dan pencemaran air yang timbul dari pembuangan limbah cair(liquid) dan p adat( solid). Kita ketahui.emisi co2 perkapita tahun 2006 adalah 4 ton.

Pembangunan Nasional yang dilaksanakan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup rakyat melalui pembangunan jangka panjang, salah satunya adalah pembangunan di bidang industri. Pembangunan di bidang industri tersebut di satu pihak akan menghasilkan produk atau barang yang bermanfaat bagi kesejahteraan hidup rakyat, namun di lain pihak kegiatan tersebut akan menghasilkan limbah seperti limbah padat, gas maupun limbah cair.Kegiatan manusia dari berbagai kegiatan industri, di lapangan (seperti deforestasi) atau yang berkaitan dengan transportasi atau rumah tangga menghasilkan gas yang jumlahnya terus meningkat, terutama gas karbon dioksida dan metan, yang diemisikan ke atmosfer. Setiap tahunnya emisi tersebut menambah jumlah karbondioksida yang telah ada di atmosfer sekitar tujuh ribu juta ton, yang umumnya akan tetap tinggal di atmosfer selama ratusan tahun atau lebih (Houngton, 2004). Oleh karena karbondioksida dapat menyerap dengan baik radiasi panas yang berasal dari permukaan bumi lebih panas daripada semestinya. Selain itu, kegiatan industri yang menghasilkan metan dari limbah ikut berperan menyumbang panas. Dengan meningkatnya suhu, maka jumlah uap air di atmosfer juga meningkat sehingga menambah jumlah ‘penyelimutan’dan menyebabkan bertambah panasnya permukaan bumi. Bertambahnya suhu global terutama akibat pesatnya perkembangan industri memicu terjadinya perubahan iklim global, dengan kata lain terjadi pemanasan global, istilah yang akhir-akhir ini akrab di telinga kita.

Adanya limbah industri terutama dari limbah cair yang mencemari lingkungan dan pemanasan global yang berdampak pada perubahan yang besar pada iklim di bumi. Perubahan seperti ini, terutama perubahan yang terjadi dengan laju yang sangat cepat mengakibatkan sulitnya ekosistem dan manusia (terutama di negara berkembang) untuk beradaptasi. Karenanya penting dilakukan upaya mitigasi lingkungan yaitu upaya-upaya untuk mencegah dampak negatif yang diperkirakan akan terjadi atau telah terjadi karena adanya rencana kegiatan atau menanggulangi dampak negatif yang timbul sebagai akibat adanya suatu kegiatan/usaha. Salah satunya dengan melakukan pengendalian pencemaran untuk Berkaitan dengan hal tersebut, diperlukan upaya-upaya untuk menanggulangi dampak negatif dari industri diperkotaan agar dapat difungsikan kembali bagi keperluan masyarakat. Salah satu upaya yang layak dipertimbangkan oleh pemerintah daerah adalah penanaman pohon disetiap sudut kota dengan demikian upaya memitigasi dapat terwujud dan dana untuk pengendalian bisa dialihkan untuk kesejahteraan masyarakat seperti untuk bimbingan penyuluhan tentang cara menjaga lingkungan seperti dampak pembakaran hutan dll.

2.Tinjauan pustaka

Pemanasan Global dan Penanaman pohon

pemanasan global adalah isu lingkungan terpenting sekarang. Daniel Esty dan Andrew Winston dalam Green to Gold membuat peringkat 10 isu lingkunganpaling berpengaruh terhadap bisnis, dan perubahan iklim yang disebabkan olehpemanasan global menempati urutan teratas. Berbeda dengan kebanyakan isulingkungan yang bersifat lokal, pemanasan global ini akan mengenai—dan berasal dari—setiap orang. Indonesia sendiri, menurut modelyang dikembangkan Dr. Armi Susandi,MT dari ITB akan mengalami penambahan suhu sebesar 3 hingga 3,5 derajat Celsiusada tahun 2100 dibandingkan suhu pada tahun 1990.Sebagaimana yang banyak dituliskan, dari empat penyebab emisi terbesar, tiga diantaranya disebabkan oleh aktivitas perusahaan, yaitu dalam pembangkitan energi (40%),industri (17%) dan transportasi (20%).Ketiganya konsisten muncul padaperhitungan global maupun Indonesia,hanya urutannya saja yang berbeda.2Peringkat berikutnya baru diduduki olehaktivitas konsumsi oleh rumah tangga(14%). Peringkat yang berbeda—dan lebihkomprehensif—ditunjukkan oleh dataglobal yang disajikan oleh Stern Review

(lihat diagram lingkaran di samping) untuk Penanaman pohon—terutama di wilayah tropis merupakan salah satu di antara banyak hal penting yang bias dilakukan untuk beradaptasi

Sekaligus memitigasi dampak pemanasan global.emisi tahun 2000.3 Sayangnya laporan tersebut tidak menyediakan data mutakhir. Halini berarti bahwa partisipasi perusahaan dan masyarakat dalam mengatasi pemanasanglobal adalah mutlak diperlukan, apabila mereka hendak menyatakan diri sebagai wargadunia yang bertanggung jawab.Dalam berbagaikesempatan, sangat jelas terlihat banyak pihak menyetujui bahwapenanaman pohon—terutama di wilayah tropis—merupakan salah satu di antara banyak hal penting yang bisa dilakukan untuk beradaptasi sekaligus memitigasi dampak pemanasan global. Hal itu disarankan oleh Al Gore dalam buku dan filmnya AnInconvenient Truth, seorang pemrasaran di acara Padamu Negeri MetroTV tanggal 26 April 2007 lalu, juga di banyak kesempatan lainnya. Di sisi lain, ada banyak usulan yang masuk sekarang untuk melakukan jeda tebang, misalnya dari WALHI, Partai Kebangkitan Bangsa, serta Direktur Eksekutif KEHATI. Masing-masing menyebutkan jangka waktu yang berbeda-beda. Bisa dimengerti mengapa jeda tebang kini banyak didengungkan, terutama karena deforestasi di Indonesia memang menyebabkan Indonesia banyak sekali mengemisi gas rumah kaca. Boleh jadi, jeda tebang merupakan solusi temporer yang diperlukan oleh lingkungan, namun karena kompleksitas ekonomi dan sosial, hal tersebut tampaknya mustahil dilakukan secara masif dan dalam jangka waktu yang panjang. Ada terlalu banyak orang di Indonesia yang hidup dengan mengandalkan hasil hutan kayu dan turunannya, sementara alternatif sumber penghidupan lainnya sulit untuk dibuat dalam waktu singkat.

3. Permasalahan yang dihadapi

Melakukan penanaman pohon merupakan salah satu cara untuk memigasi dampak indusrialisasi, cara yang selain memang sangat diperlukan karena kemampuan menyerap CO2 serta logam berat—lebih masuk akal. Namun demikian, bukankah sudah banyak pula “gerakan penanaman sejuta pohon” yang dicanangkan? Mengapa pula harus ada satu lagi undangan tambahan untuk gerakan semacam itu? Jawabannya adalah:

1 . Masalah lingkungan kita sedemikian besar dan kompleks sehingga tambahan sumber daya selalu diperlukan.

2.hingga sekarang tampaknya belum ada catatan keberhasilan masif yang bisa kita lihat dari

gerakan-gerakan sebelumnya

3. Perusahaan sebagai pengemisi terbesar—dengan mengingat ada beberapa perkecualian—belum juga menganggap bahwa penanaman pohon adalah bentuk CSR yang sangat penting.

4.masyarakat secara umum juga belum menganggap penanaman pohon sebagai cara untuk melindungi generasi sekarang dan mendatang dari dampak pemanasan global. Padahal, perhitungan dari pemodelan menyatakan bahwa bagaimanapun kita akan menghadapi kenaikan suhu yang signifikan, sehingga regulasi iklim mikro adalah cara yang sangat penting untuk mengurangi dampak pemanasan global.

5 .penanaman pohon sering dihinggapi penyakit seremonial., pencanganan biasanya dilakukan oleh pejabat pemerintah dan atau pimpinan perusahaan. 3 dan tidak pernah lagi melakukan pengecekan atas apa yang terjadi kemudian.

6 .Gerakan penanaman pohon juga terlalu sering dicanangkan oleh pemerintah dan partai politik, sehingga muatan politisnya terlalu kental. Kentalnya muatan politis membuat gerakan dijauhi oleh mereka yang bukan simpatisan pandangan politik itu. Selain itu, ketika tujuan pendongkrakan citra politis sudah diperoleh, gerakan kemudian langsung mati.

7 .pertimbangan keekonomian, gerakan penanaman juga terlalu sering dilakukan dengan pendekatan projek skala besar. Konsekuensinya banyak, namun yang paling penting adalah bahwa itu sangat rawan korupsi atas sumberdaya (baca: uang rakyat) yang dialokasikan. Harga perhektar yang dicanangkan di Jakarta menyusut entah menjadi tinggal berapa persennya ketika itu hendak diaplikasikan di lapangan. Akibatnya, jumlah pohon yang ditanam juga menghalami penyusutan, demikian juga alokasi untuk masukan lain seperti pupuk dan pemeliharaan. Pendekatan projek juga membuat gerakan mati begitu sumberdaya finansial pendukungnya habis.

8 .Kebanyakan projek di Indonesia, gerakan penanaman pohon kebanyakan tidak melibatkan masyarakat, walaupun jargon partisipasi banyak digunakan. Masyarakat kerap hanya dilibatkan untuk menanam pohon, dan tidak yang lainnya.

3.Pemyelesaian masalah.

1.Masyarakat sebagai Penanam dan Pemelihara Pohon

Sangat jelas bahwa masyarakat adalah pihak yang paling berkepentingan dengan dampak pemanasan global. Terlepas dari kenyataan bahwa aktivitas rumah tangga “hanyalah” penyumbang keempat—bahkan akan turun peringkatnya kalau LULUCF diperhitungkan—dalam emisi karbon, namun yang akan merasakan dampak pemanasan global utamanya adalah mereka. Dalam dunia akademik terdapat perdebatan apakah pemanasan global harus diatasi dengan prinsip “poluters pay”—prinsip yang menyatakan bahwa mereka yang mencemari adalah yang berkewajiban membiayai upaya perbaikan lingkungan—atau “beneficiaries pay”—prinsip yang menyatakan bahwa mereka yang menikmati jasa lingkunganlah yang harus menbayar jasa tersebut. Namun dalam hal pemanasan global perdebatan itu menjadi kurang penting karena masyarakat tetaplah yang akan menjadi penderitanya. Kalau kita gunakan prinsip pertama, pertanyaan yang paling relevan adalah: berapa sesungguhnya pencemaran yang dilakukan oleh individu? Jawaban atas pertanyaan ini

sangat tergantung pada asumsi yang dipergunakan. Kalau kita asumsikan bahwa seluruh pencemaran sesungguhnya berasal dari resultante kebutuhan dan aktivitas individu— walaupun perusahaan yang kemudian benar-benar mengeluarkan emisi karbon, maka jumlah seluruh emisi karbon kemudian dibagi dengan jumlah penduduk. Tentu saja, kita bisa mendapatkan angka di tingkat global dan di tingkat nasional untuk itu. Menggunakan angka di tingkat global kemudian menggunakannya untuk menentukan berapa tanggung jawab masing-masing indinvidu di Indonesia tentu saja tidak adil. Terdapat kesenjangan yang sangat besar antarnegara dalam hal emisi karbon ini, sehingga IPCC menyatakan bahwa sebetulnya tanggung jawab dalam mengatasi pemanasan global adalah bersifat “common but differentiated”. Amerika Serikat, menurut data tahun 2005 mengemisi 21,2% dari total emisi karbon dunia, dan Cina mengemisi 18,5%-nya.4 Setiap individu AS kini tercatat mengemisi rata-rata 25,9 ton karbon pertahun, jauh melampaui rataan emisi warga dunia, termasuk Indonesia. Kalau seluruh emisi karbon dari kegiatan ekonomi Indonesia sepanjang tahun dibagi dengan jumlah total penduduk Indonesia, maka emisi karbon perkapita tahun 2006 adalah 4 ton.5 Dengan demikian maka setiap warga Indonesia sesungguhnya berhutang kepada alam untuk melakukan aktivitas yang bisa mengurangi karbon sejumlah 4 ton pula, agar tidak menjadi penyumbang bagi pemanasan global. Tentu saja, sebenarnya terdapat perbedaaan yang mencolok antara mereka yang tinggal di perkotaan dengan yang di pedesaan, yang kaya dengan yang miskin, dan sebagainya. Mereka yang mengkonsumsi energi sangat besar—yaitu kaum kaya di perkotaan—punya “dosa karbon” yang jauh lebih besar dibandingkan mereka yang di pedesaan. Boleh jadi, ada kelompok-kelompok tertentu di Indonesia yang emisinya menyamai atau bahkan melampaui emisi rataan warga AS. Apa yang bisa dilakukan individu untuk mengurangi karbon sebanyak itu? Buat individu yang kaya, ada banyak cara untuk mengurangi karbon sebanyak yang mereka emisikan— inilah yang disebut carbon offset. Mereka bisa melakukan penghematan energi dengan berbagai cara: menggunakan sumber energi matahari untuk pemanas, mengganti seluruh bola lampu dengan yang lebih hemat energi, serta mengganti mobil boros bensin dengan yang lebih hemat atau bahkan versi hibridnya.4 5 Firdaus, F. 2007.Komunikasi pribadi dengan Ari Muhammad, Koordinator Nasional UNFCCC dari WWF Indonesia, Juli 2007. Untuk mereka yang berkemampuan ekonomi lebih rendah, alias masyarakat pada umumnya, salah satu pilihan yang paling baik adalah melakukan penanaman pohon.

Secara rataan, dalam satu daur hidupnya setiap pohon dapat menghisap karbon sebanyak

1 ton. Karena itu, setiap warga Indonesia berhutang 4 pohon kepada lingkungan pada tahun lalu saja. Dengan kecenderungan meningkatnya emisi, maka di tahun-tahun mendatang jumlah hutang itu akan juga meningkat. Perhitungan ini akan membuat warga yang berkesadaran lingkungan akan menanam pohon minimal sebanyak itu setiap tahunnya. Karenanya, sangat penting bagi siapapun yang memperjuangkan pengurangan dampak pemanasan global untuk memromosikan “hutang karbon” ini kepada kelompokkelompok masyarakat yang potensial untuk menerimanya: pelajar, mahasiswa, pekerja kelas menengah, dsb. Kalau kelompok-kelompok itu mau menerima bahwa memang mereka berhutang 4 pohon kepada lingkungan, maka mereka akan dapat memengaruhi lebih banyak lagi pihak. Kalau ini terjadi, harapan bagi partisipasi masyarakat luas untuk menanam—dan memeliharanya sepanjang daur hidup—pohon akan bisa diwujudkan.

2.Perusahaan: Carbon Offset sebagai bagian dari CSR

CSR atau tanggung jawab sosial perusahaan kini semakin popular. Berbagai peristiwa di

tingkat internasional maupun nasional membuktikan bahwa semakin banyak perusahaan yang menerima tanggung jawab yang lebih luas daripada sekadar tanggung jawab menghasilkan profit untuk pemilik modalnya. Walau definisi CSR itu beragam, namunkonvergensi dengan pembangunan berkelanjutan membuat pengertiannya adalah: upaya sungguh-sungguh dari entitas bisnis untuk meminimumkan dampak negatif dan memaksimumkan dampak positif operasinya terhadap seluruh pemangku kepentingan dalam ranah ekonomi, sosial dan lingkungan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Jadi, bila sebuah perusahaan ingin dinyatakan sebagai perusahaan yang bertanggung jawab, syarat utamanya adalah ia mengetahui secara persis apa saja dampak dari operasinya, baik negatif maupun positif. Dampak negatif itu kemudian diminimumkan dengan pengelolaan, dan apabila tidak bisa menjadi nol maka harus ada upaya mengkompensasi itu, sementara dampak positifnya dimaksimumkan. Kalau hal ini diterjemahkan ke dalam isu pemanasan global, maka perusahaan yang bertanggung jawab haruslah menghitung dengan presisi tinggi emisi karbonnya. Tujuan tertinggi adalah membuat sebuah proses produksi yang netral karbon. Buat perusahaan, jalan utamanya ada dua: carbon offset dan penggantian ke teknologi yang lebih ramah atmosfer alias beremisi lebih kecil (nol?).

Kalau pertanyaan kritis kita lontarkan: berapa proporsi perusahaan yang mengetahui secara tepat berapa emisi karbon yang dihasilkan dari aktivitas produksinya? Jawabannya tentu saja sangat kecil, karena perhitungan itu memang tidak dipersyaratkan dalam regulasi manapun. Hanya sebagian sangat kecil dari AMDAL yang mencantumkan perhitungan itu. Aktivitas yang mendukung produksi, semisal transportasi pekerja, hampir-hampir tidak pernah dihitung. Padahal, untuk industri yang berada di tempat-tempat yang jauh—biasanya migas dan pertambangan—para pekerjanya menempuh jarak ratusan bahkan ribuan kilometer dengan pesawat terbang yang menghamburkan berton-ton karbon ke atmosfer.

Ada berbagai aktivitas yang termasuk ke dalam carbon offset, yaitu seluruh aktivitas yang bisa mengurangi emisi CO2 seperti penanaman pohon, penggunaan energi berkelanjutan

(air, angin, dsb.), dan efisiensi energi. Seluruh kegiatan tersebut harus diketahui dampak pengurangan emisinya (sudah ada ukuran-ukuran itu, misalnya—seperti yang telah dikemukakan pada bagian sebelumnya—menanam dan memelihara pohon sepanjang daur hidupnya akan menyerap emisi sebanyak 1 ton), sehingga perhitungan antara emisi suatu kegiatan dengan pengurangnya bisa diseimbangkan. Di Eropa perhitungannya sudah lebih maju, karena orang atau perusahaan sudah bisa mengonversi emisi ke dalam uang yang dibayarkan kepada organisasi yang melakukan kegiatan-kegiatan di atas. Harga carbon offset di Eropa sekarang adalah 12 USD untuk tiap ton emisi—sehingga, misalnya ketika seseorang terbang dari London ke New York yang menghasilkan emisi 1,7 ton, maka ia kemudian membayar sekitar 20 USD kepada organisasi tertentu. Tentu saja, kalau hendak memiliki dampak positif atas iklim, maka kegiatan pengurangan emisi bisa ditingkatkan lagi, di atas tingkat emisi yang dihasilkan, atau membayar lebih tinggi untuk harga karbon yang diemisikan. Penanaman pohon buat perusahaan juga merupakan salah satu cara melakukan carbon offset. Perusahaan yang mengetahui persis jumlah emisinya bisa membayar semacam pajak karbon untuk setiap kilogram atau ton emisinya. Ada beberapa lembaga yang bisa menerima itu, dengan berbagai kegiatan yang membuat volume karbon di atmosfer berkurang. Banyak di antaranya yang melakukan penanaman pohon itu. Namun, perusahaan juga bisa melakukannya sendiri, dengan jalan menghitung kewajiban berapa pohon yang harus ditumbuhkannya setelah mengetahui emisinya. Secara kasar, sepanjang daur hidupnya satu pohon bisa mengkonsumsi 1 ton CO2, walaupun tentu saja ada yang lebih besar dan lebih kecil daripada itu. Sehingga, kalau sebuah perusahaan misalnya mempunyai emisi 10.000 ton karbon setiap tahunnya, maka sejumlah 10.000 pohon harus ditanam dan dipelihara untuk membuat proses produksinya netral karbon. Itupun baru dapat dikatakan bahwa perusahaan itu telah meminimumkan dampak negatifnya, kalau hendak memaksimumkan dampak positifnya, penanaman pohon yang harus dilakukan tentu saja harus melampaui itu. Ada juga pemikiran bahwa perusahaan dan konsumennya harus berbagi kewajiban penanaman pohon itu. Salah satu hal yang penting didiskusikan adalah sampai di mana tanggung jawab perusahaan: apakah ketika produknya diserahkan pada konsumen? Pendekatan daur hidup produk menyatakan bahwa tanggung jawab perusahaan sebetulnya hingga batas usia produk, namun ini bukan satu-satunya pendirian. Pada industri otomotif, misalnya, emisi karbon akan terjadi mulai dari proses produksinya (di tangan perusahaan) hingga masa akhir penggunaannya (di tangan konsumen). Apakah perusahaan hanya bertanggung jawab pada emisi karbon atas proses produksinya mobil atau motor tersebut, lalu konsumen bertanggung jawab untuk seluruh emisi yang dihasilkan oleh setiap liter pembakaran BBM hingga mobil/motor itu rusak atau berpindah tangan? Mungkin diskusi pembagian tanggung jawab itu tidak akan selesai segera. Namun ide dasarnya adalah bahwa dengan mengemukanya isu perubahan iklim, maka dengan segera CSR akan dinilai juga dari apa yang dilakukan oleh perusahaan untuk mengatasi pemanasan global. Penanaman pohon sebagai bentuk CSR adalah jalan yang tampaknya akan bisa diterima oleh banyak pihak di Indonesia, mengingat deforestasi membutuhkan upaya penanganan yang serius.

3.Emisi dari Aktivitas: Seandainya Pameran Gaikindo Mau Melakukan Carbon

Offset

Aktivitas tertentu yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah yang besar seperti pameran besar serta konser musik juga dapat dijadikan sebagai sumberdaya untuk melakukan penanaman pohon. Sama dengan apa yang harus dilakukan perusahaan, aktivitas beremisi besar juga harus menghitung emisinya kemudian melakukan upaya menetralkannya. Jadi, apabila, misalnya, pameran mobil Gaikindo hendak melakukan carbon offset atas emisi dari pameran dan mobil yang terjual selama kegiatan pameran yang dimulai awal minggu ketiga Juli 2007 lalu, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah menghitung seluruh emisi CO2 yang dihasilkan selama proses produksi setiap jenis kendaraan yang hendak dijual dalam ajang pameran, kemudian menghitung total emisi dari seluruh mobil yang benar-benar terjual. Untuk meningkatkan akuntabilitas dan transparensi, maka sebaiknya ada verifikasi dari pihak ketiga yang kredibel dan independen. Kalau verifikasi ini hendak dilakukan, maka Gaikindo diharapkan dapat menyediakan data awal berupa: ATPM yang ikut serta, jenis mobil yang dijual, teknologi yang dipergunakan dalam pembuatan mobil maupun teknologi mobil itu, proses asembling, data awal tentang emisi yang dimiliki masing-masing ATPM, dan (setelah pameran) komposisi mobil yang terjual. Berikutnya, mengikuti kelaziman carbon offset suatu pameran, maka emisi yang dikeluarkan oleh pengunjungnya untuk mendatangi lokasi pameran juga perlu dihitung. Hal ini dilakukan dengan menanyakan alamat seluruh pengunjung, dengan kendaraan apa mereka sampai ke pameran, kemudian menghitung perkiraan emisinya. Perkiraan emisi secara lebih kasar juga mungkin dilakukan dengan jalan mengasumsikan jarak tempuh dan jenis kendaraan yang dipergunakan oleh pengunjung. Misalnya diasumsikan 30% dari 50.000 pengunjung datang dengan kendaraan pribadi dengan jarak tempuh rata-rata 25 kilometer, maka angka emisi bisa diperoleh dengan cepat. Agar asumsi tidak terlampau meleset, Gaikindo dapat melakukan survei terbatas, misalnya pada 5% pengunjung. Yang juga sangat penting dihitung adalah emisi yang berasal dari penggunaan energi selama pameran berlangsung. Konsumsi listrik yang besar selama beberapa hari tentu saja juga menyebabkan tingkat emisi yang tinggi. Kalau kegiaatan pamerannya sendiri hendak berlabel “pameran hijau”, maka penetralan terhadap emisi dari pengunjung dan konsumsi listrik sangat penting dilakukan.

Hal yang perlu dipertimbangkan juga adalah apakah Gaikindo hanya akan bertanggung jawab atas emisi selama produksi ataukah emisi sepanjang daur hidup produk otomotif. Dalam konsep CSR yang paling maju, perusahaan bertanggung jawab atas dampak sepanjang daur hidup produknya atau dikenal dengan istilah product stewardship. Kalau pendekatan paling maju ini hendak dipergunakan, maka emisi kendaraan perkilometer atau perkiraan pertahun perlu dihitung juga, kemudian dikalikan dengan perkiraan kilometer total atau usia kendaraan hingga tidak bisa dipergunakan lagi. Kalau Gaikindo berpendirian bahwa emisi CO2 yang terjadi setelah produk berpindah tangan kepada konsumen adalah tanggung jawab konsumen, maka setidaknya setiap ATPM harus (1) memberikan informasi mengenai emisi perkilometer, (2) memberikan informasi mengenai dampak emisi atas pemanasan global, sehingga konsumen juga bisa memilih untuk melakukan carbon offset, kalau kesadaran lingkungan mereka menuntun mereka berbuat demikian. Sebagai gambaran, harga carbon offset untuk setiap kendaraan yang dikenakan oleh Terra Pass, sebuah organisasi yang mengelola upaya carbon offset di Amerika Serikat adalah 30-80 USD per tahun. Harga 30 USD adalah untuk mobil hibrida, sementara 80 USD dikenakan kepada SUV. Tentu saja, konsumen juga bisa memilih untuk menanam dan memelihara pohon sesuai dengan tonase emisi mereka.

4.Beberapa Pertimbangan dalam Penanaman pohon

Begitu total emisi sudah diperhitungkan, maka harus ditetapkan jumlah total pohon yang akan ditanam, jenis pohon yang akan ditanam, serta tempat penanaman pohon. Jumlah pohon yang akan ditanam sangatlah tergantung komposisi dari jenis yang hendak ditanam dengan pertimbangan kemampuan menyerap karbonnya. Secara rataan memang setiap pohon akan menyerap 1 ton CO2 sepanjang daur hidupnya, namun tentu saja variasi kemampuan itu tetap ada. Mengenai jenis, ada baiknya dipertimbangkan untuk tidak hanya menanam satu jenis melainkan beragam. Ini untuk kebaikan keanekaragaman hayati. Selain itu, jenis pohon juga harus disesuaikan dengan tempat (peta kesesuaian lahan dapat diperoleh dengan mudah, atau bisa juga bertanya kepada Dinas Pertanian setempat). Berkenaan dengan tempat, yang sangat penting dipertimbangkan adalah apakah ada jaminan bahwa dalam waktu yang cukup lama pohon tersebut bisa hidup dan berfungsi menyerap CO2, karena kalau hal tersebut tidak dapat dijamin maka sia-sialah seluruh pekerjaan, dan tujuan carbon offset tidak bisa tercapai. Karenanya, menanam di lahanlahan yang ditetapkan fungsinya oleh pemerintah sebagai lahan konservasi (taman nasional, cagar alam, suaka margasatwa, dsb.), atau di tempat-tempat yang ditetapkan sebagai taman kota/ruang terbuka hijau (Dinas Pertamanan setempat pasti memiliki peta ini), atau lahan milik pribadi yang berkomitmen tinggi pada lingkungan akan lebih menjamin terpeliharanya pohon hingga daur hidupnya mencapai klimaks. Pilihan berikutnya adalah menanam di lahan yang berstatus “kritis” karena mengalami proses penggundulan. Lahan konservasi—dengan berbagai status legalnya—merupakan pilihan yang sangat strategis untuk melakukan penanaman pohon. Mungkin banyak pihak berpikir bahwa kawasan-kawasan konservasi tentulah terjaga kelestariannya sehingga tidak perlu ditanami lagi. Sayangnya pendirian tersebut tidak sepenuhnya tepat. Sejak satu dekade lalu, deforestasi semakin menghebat terjadi termasuk di kawasan-kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Malahan, ada kecenderungan perusakan kawasan konservasi di berbagai tempat menjadi lebih cepat dibandingkan kawasan lainnya, karena pada periode sebelumnya kawasan kolnservasi relatif terjaga, sehingga kemudian tempat-tempat itu dianggap memliki potensi kayu yang jauh lebih baik. Departemen Kehutanan—tentu saja—memiliki informasi mengenai di mana saja kawasan konservasi yang mengalami kerusakan dan perlu mendapat perhatian segera. Yang perlu dirundingkan adalah bagaimana Departemen Kehutanan—mungkin melalui kerjasama dengan masyarakat—dapat melakukan pengelolaan kawasan yang telah ditanami itu dengan baik sehingga tidak terjadi perambahan di kemudian hari. Ruang terbuka hijau, termasuk taman-taman kota yang ditetapkan oleh pemerintah daerah juga merupakan tempat penanaman pohon yang tepat. Pemerintah daerah manapun juga pasti memiliki tempat-tempat yang sudah diincar dijadikan ruang terbuka hijau, sehingga mereka yang hendak menanam pohon juga bisa menanyakan peta rencana ruang-ruang itu, kemudian menanyakan bagaimana cara membantu pemerintah daerah mewujudkannya. Adakalanya tempat yang diincar masih berstatus milik pihak lain sehingga harus dibebaskan terlebih dahulu. Dalam hal ini, mungkin, perusahaanlah atau kelompok masyarakat kaya yang dapat membantu pemerintah daerah membeli tanah-tanah yang strategis itu. Yang paling penting dalam hal ini adalah transparensi maksimum mengenai sumberdaya finansial yang digunakan. Kalau bantuan itu diberikan, pemerintah daerah sudah seharusnya memberikan pengakuan yang layak. Mengenai kegunaan ruang terbuka hijau sendiri, banyak pihak yang sudah menuliskannya Di bawah ini adalah tiga contoh yang diambil dari berselancar dunia maya. Walaupun informasinya tidak konsisten atau memerlukan penjelasan lebih lanjut—misalnya tentang berapa sesungguhnya oksigen yang diproduksi pohon—atau tidak lengkap satuannya, namun kutipan-kutipan berikut memang menunjukkan bahwa ruang terbuka hijau adalah penting bagi kehidupan manusia sehingga harus diperjuangkan keberadaan dan kecukupan jumlahnya

1. Dari http://merdeka.or.id/2007/02/20/oksigen-pohon/:

“...satu orang perlu oksigen 175,244 kg/tahun. pohon sehat setinggi 32 feet (9,75 m) menghasilkan oksigen 118,040 kg/tahun. 1 acre pepohonan bisa mencukupi oksigen untuk 18 orang dan menyerap karbondioksida dari mobil yang berjalan sekitar 26 ribu mile (41.834 km). Pohon besar menyerap kira-kira 120-240 pounds partikel kecil atau gas polutan.”

2. Dari http://www.pikira rakyat.com/cetak/2005/0505/23/teropong/lainnya3.htm:

“Padahal, idealnya...40 persen dari jumlah penduduk. Jumlah tersebut dihitung dengan rumusan jumlah penduduk x 0,5 kg oksigen x 1 pohon : 1,2 kg. (”GM”, 5/10/2000).”

3. Dari http://www.kompas.com/kompas-cetak/0406/07/Properti/1063304.htm:

”Mereka tahu persis betapa pentingnya RTH sebagai paru-paru kota bagi kota dan warga. Sebagai perbandingan, satu hektar RTH mampu menetralisasi 736.000 liter limbah cair hasil buangan 16.355 penduduk; menghasilkan 0,6 ton oksigen guna dikonsumsi 1.500 penduduk perhari; menyimpan 900 m3 air tanah per tahun; mentransfer air 4.000 liter per hari atau setara dengan pengurangan suhu lima sampai delapan derajat Celsius, setara dengan kemampuan lima unit alat pendingin udara berkapasitas 2.500 Kcal/20 jam; meredam kebisingan 25-80 persen; dan mengurangi kekuatan angin sebanyak 75-80 persen. SINGAPURA paham betul bahwa pohon sebagai jantungnya paru-paru kota merupakan produsen oksigen yang belum tergantikan fungsinya. Sebagai patokan, pada lahan seluas 1.600 meter persegi, yang terdapat 16 pohon berdiameter tajuk 10 m mampu menyuplai oksigen (O2) sebesar 14.000 liter perorang. Setiap jam, satu hektar daun-daun hijau dapat menyerap delapan kilogram CO2 yang setara dengan CO2 yang diembuskan oleh napas manusia sekitar 200 orang dalam waktu yang sama. Jika satu liter O2 hanya dihargai Rp 100, maka sebatang pohon menghemat biaya oksigen sebesar Rp 1.400.000 per hari, Rp 42 juta per bulan, dan Rp 511 juta per tahun per orang!” Kalau kegunaan di atas terutama adalah kegunaan ekologis, artikel Jennifer Ackerman juga menjelaskan kegunaan-kegunaan sosialnya.6 Mengutip penelitian Frances Kuo dari University of Illinois, ia menyatakan bahwa “mereka yang tinggal...dekat area-area hijau memiliki rasa kemasyarakatan yang lebih kuat dan lebih baik dalam mengatasi tekanan dan kesulitan hidup.” Juga “Semakin hijau lingkungan sekitar...semakin rendah tingkat kriminalitas terhadap manusia dan properti.” Kalau pemanasan global akan meningkatkan suhu rata-rata di Indonesia mungkin hingga 3,5 derajat Celcius antara tahun 1990-2100, suhu di bawah pohon yang rindang dinyatakan Ackerman bisa lebih6 Ackerman, J. 2007. Ruang bagi Jiwa. National Geographic Indonesia. Maret. dingin hingga 4 derajat Celcius. Bahkan antara naungan pohon dengan aspal bisa terdapat perbedaan suhu hingga 20 derajat Celcius! Ini menunjukkan bahwa pepohonan memang sangat penting dalam “menetralkan” atau setidaknya mengurangi dampak pemanasan global melalui regulasi iklim mikro. Hanya kota-kota yang berhasil menghijaukan dirinyalah yang akan dapat menghadapi pemanasan global dengan segala dampak ekologi dan sosialnya. Dengan demikian, kampanye terhadap pentingnya ruang terbuka hijau—dan partisipasi perusahaan dan masyarakat dalam mewujudkannya— memang harus dilakukan dengan jauh lebih serius. Kalau tidak, perusahaan dan masyarakat juga yang kelak akan menangguung akibat dari gersangnya perkotaan.

Dalam eksekusinya, yang penting diperhatikan adalah aktivitas dan pihak penyelenggara. Secara kasar, akan ada tiga aktivitas yang harus terselenggara dengan baik setelah izin tempat untuk penanaman diperoleh, yaitu persemaian, penanaman dan pemeliharaan. Dalam kebanyakan kegiatan penanaman pohon, terdapat kecenderungan untuk menyemai dengan terlalu cepat tanpa mempertimbangkan kesiapan pohon untuk ditanam. Aktivitas penanamanpun, terutama kalau dilakukan dalam skala besar, banyak dilakukan tanpa kehati-hatian, sehingga proporsi tanaman yang mati menjadi tinggi. Mereka yang hendak melakukan penanaman pohon harus memastikan bahwa baik persemaian maupun penanaman harus dilakukan dengan hati-hati. Dalam hal pemeliharaan, penting diperhatikan upaya penyulaman (penggantian tanaman yag mati) sehingga jumlah pohon yang hidup menjadi tepat seperti yang dijanjikan. Kepastian itu harus diperoleh sampai umur pohon tertentu ketika angka kematian sedemikian kecil. Karenanya, pemilihan pihak yang akan melaksanakan penanaman dan pemeliharaan menjadi sangat penting. Pihak itu bisa pemerintah, swasta maupun masyarakat, atau gabungan dua atau ketiganyaYang juga sangat penting untuk diingat adalah pemeliharaan bukannya tidak membutuhka. Yang jelas, pelibatan masyarakat sangatlah penting karena di lapangan merekalah yang banyak tahu. Yang juga sangat penting untuk diingat adalah pemeliharaan bukannya tidak membutuhkan biaya, sehingga pihak yang melakukan penanaman pohon harus bersedia mengeluarkan sumberdaya untuk itu.


5.Kesimpulan dan Saran

5.1 Kesimpulan.

Dari hasil pengamatan yang ada didaerah dan pusat serta kondisi riil di lapangan, maka didapat beberapa kesimpulan yaitu:

1. Pemda-Pemda Kota maupun Kabupaten layak untuk menerbitkan Perda tentang dampak dari limbah industri ,terutama kota-kota besar seperti Palembang,Medan, Batam, Denpasar, dan Makasar. Karena disinyalir banyaknya polusi limbah yang diakibatkan oleh proses produksi perusahaan/industri yang ada di daerah. Hal ini memerlukan penanggulangan dengan segera agar kerusakan lingkungan tidak semakin parah.

2. Pendapat yang menganggap bahwa masalah limbah cukup diatur dalam ijin gangguan (ijin HO) adalah tidak tepat, karena dari hasil evaluasi, ijin gangguan (ijin HO) mengatur masalah gangguan yang sangat luas, sehingga tidak mungkin bagi Pemerintah Daerah melakukan pengawasan, pengendalian dan pengelolaan limbah dengan mengandalkan penerimaan dari penerbitan ijin gangguan (ijin HO).

3. Belum ada langkah yang serius dari Pemerintah Daerah untuk mengatasi masalah limbah r terutama yang berkaitan dengan masalah keterbatasan dana.

5.2 Saran

Pemerintah Daerah disarankan untuk membuat peraturan daerah tentang memitigasi limbah industri dalam rangka menjalankan fungsinya sebagai pengawas, pengendali dan pengelola limbah yang membutuhkan dana cukup besar. Pembuatan perda memitigasi limbah dari industri tersebut layak diterapkan di daerah dilihat dari berbagai segi baik potensi, kondisi keuangan daerah, kesiapan administrasi, dan kemauan politik dari pimpinan daerah.

Disamping itu, penerapan perda limbah industri tersebut sejalan dengan undang-undang dan peraturan yang ada, dimana Pemerintah Daerah dapat menggali sumber dana dari perusahaan industrip sekaligus melakukan fungsi pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. .


Daftar pustaka

Firdaus, F. 2007.Komunikasi pribadi dengan Ari Muhammad, Koordinator Nasional UNFCCC dari Stern, N. 2007.

Stern Review: The Economics of Climate Change. Cambridge University Press.

WWFIndonesia, Juli2007

Makalah dipresentasikan pada seminar yang diselenggarakan Dinas Pertamanan DKI Jakarta tanggal 2Agustus 2007. Sebagian isi makalah ini pernah dipublikasikan di www.csrindonesia.com dalam judul

Penanaman pohon sebagai Bentuk CSR yang Penting” atas nama Jalal dan ”Gagasan Carbon Offset untuk

Pameran Mobil Gaikindo 2007” atas nama Jalal, Nasrullah Salim dan Muhammad Suhud.

2 Emisi karbon serta gas rumah kaca lainnya sebetulnya terdiri dari emisi alamiah serta emisi buatan

manusia. Emisi yang disebut di atas adalah emisi buatan manusia saja, dengan ”mengabaikan” faktor

LULUCF (Land Use, Land Use Change and Forestry) yang juga berperan besar dalam emisi gas rumah kaca.

Angka-angka dari Indonesia dalam kurung dikutip dari Firdaus, F. 2007. Menangguk Laba dari Gas Rumah

Kaca. National Geographic Indonesia, Maret 007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar