Senin, 30 November 2009

PENDEKATAN HOLISTIK DALAM PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN DI KAWASAN EKS TAMBANG

ELFIDIAH

DESKRIPSI

Masalah utama yang timbul pada wilayah bekas tambang adalah perubahan lingkungan. Perubahan kimiawi terutama berdampak terhadap air tanah dan air permukaan, berlanjut secara fisik perubahan morfologi dan topografi lahan. Lebih jauh lagi adalah perubahan iklim mikro yang disebabkan perubahan kecepatan angin, gangguan habitat biologi berupa flora dan fauna, serta penurunan produktivitas tanah dengan akibat menjadi tandus atau gundul. Mengacu kepada perubahan tersebut perlu dilakukan upaya reklamasi. Selain bertujuan untuk mencegah erosi atau mengurangi kecepatan aliran air limpasan, reklamasi dilakukan untuk menjaga lahan agar tidak labil dan lebih produktif. Akhirnya reklamasi diharapkan  menghasilkan nilai tambah bagi lingkungan dan menciptakan keadaan yang jauh lebih baik dibandingkan dengan keadaan sebelumnya.

Bentuk permukaan wilayah bekas tambang pada umumnya tidak teratur dan sebagian besar dapat berupa morfologi terjal. Pada saat reklamasi, lereng yang terlalu terjal dibentuk menjadi teras-teras yang disesuaikan dengan kelerengan yang ada, terutama untuk menjaga keamanan lereng tersebut. Berkaitan dengan potensi bahan galian tertinggal yang belum dimanfaatkan, diperlukan perhatian mengingat hal tersebut berpotensi untuk ditambang oleh masyarakat atau ditangani agar tidak menurun nilai ekonominya.

ABSTRACT

Main problem raises at post-mining area is environmental change. Chemical change affects particularly groundwater and surface water prior to physically change of morphology and land topograpghy. Futher, changing also micro climate due to change of wind velocity, disturbing biological habitate such as flora and fauna and degradation of soil productivity with result either infertility or denudation of land. Base on those changing, though reclamation is needed to be done. Despite avoiding erosion or decreasing velocity of water’s run off, reclamation is done to maintain land from instability and making more productive condition. Finally, reclamation is hopefully to yield added value to environment and creating much better condition compared with the past.

Surfacial form of post-mining area is generally irregular and mostly as steep morphology. At the time reclamation, steep morphologies are formed to be terraces which appropriate with original slope in order to maintain secured slope condition. Concerning with abandoned mining deposit which haven’t utilitized yet, it’s needed for attention of being potency for either exploitation by public or being managed it in order to avoid decreasing its economic value.

PENDAHULUAN

Pengelolaan dan pemanfaatan lahan bekas penambangan, sebenarnya meliputi aspek yang sangat luas dan kompleks, meliputi tidak hanya aspek lingkungan hidup,tetapi juga aspek sosial, ekonomi lokal, tenaga kerja, budaya dll. Bukan sedikit tempat di seluruh dunia terjadi fenomena boom-and-bust, dimana ketika muncul operasi pertambangan di suatu kawasan maka kawasan tersebut mengalami percepatan pertumbuhan ekonomi yang sangat tajam sementara ketika perusahaan tambang pergi maka kawasan tersebut berubah menjadi kota-kota mati. Bekas penambangan Timah di Bangka kini meninggalkan lahan-lahan berupa kolong darat (hamparan tailing dan over-burden) serta kolong air berukuran 10-100 hektar, dengan kedalaman lima sampai 25 meter. Permasalahannya, kualitas hamparan tailing serta air kolong memiliki derajat keasaman yang rendah (pH 4-5), kandungan mikroba dan unsur hara yang rendah,serta tak terhindar terbawa juga mineral-mineral berat terlarut. Sedangkan upaya pengelolaan lingkungan dalam operasi pertambangan seharusnya adalah tercapainya suatu kondisi lingkungan yang aman dan stabil yang berlangsung dalam kurun waktu yang panjang. Keamanan dan kestabilan lingkungan hidup dapat meliputi terjaminnya suatu kondisi lingkungan yang bebas pencemaran yang dapat mendukung keberlanjutan kehidupan dan ekosistem setempat maupun yang tercakup dalam wilayah lain yang secara tidak langsung terkena dampak operasi pertambangan itu. Oleh karenanya pengelolaan lingkungan hidup, terutama pada periode pasca operasi pertambangan tidak boleh disimplifikasi hanya sebatas penanaman pohon atau reklamasi saja. Reklamasi lahan bekas tambang tidak cukup sekadar memenuhi persyaratan standar yang berlaku, tetapi harus direhabilitasi menjadi lahan produktif. Masyarakat di daerah penambangan harus dapat merasakan manfaat lahan yang direhabilitasi, dan dilibatkan secara aktif.

Reklamasi adalah kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan, agar dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai peruntukannya.

Pembangunan berwawasan lingkungan menjadi suatu kebutuhan penting bagi setiap bangsa dan negara yang menginginkan kelestarian sumberdaya alam. Oleh sebab itu, sumberdaya alam perlu dijaga dan dipertahankan untuk kelangsungan hidup manusia kini, maupun untuk generasi yang akan datang (Arif, 2007).

Manusia merupakan penyebab utama terjadinya kerusakan lingkungan (ekosistem). Dengan semakin bertambahnya jumlah populasi manusia, kebutuhan hidupnya pun meningkat, akibatnya terjadi peningkatan permintaan akan lahan seperti di sektor pertanian dan pertambangan. Sejalan dengan hal tersebut dan dengan semakin hebatnya kemampuan teknologi untuk memodifikasi alam, maka manusialah yang merupakan faktor yang paling penting dan dominan dalam merestorasi ekosistem rusak.

Kegiatan pembangunan seringkali menyebabkan kerusakan lingkungan, sehingga menyebabkan penurunan mutu lingkungan, berupa kerusakan ekosistem yang selanjutnya mengancam dan membahayakan kelangsungan hidup manusia itu sendiri. Kegiatan seperti pembukaan hutan, penambangan, pembukaan lahan pertanian dan pemukiman, bertanggung jawab terhadap kerusakan ekosistem yang terjadi. Akibat yang ditimbulkan antara lain kondisi fisik, kimia dan biologis tanah menjadi buruk, seperti contohnya lapisan tanah tidak berprofil, terjadi bulk density (pemadatan), kekurangan unsur hara yang penting, pH rendah, pencemaran oleh logam-logam berat pada lahan bekas tambang, serta penurunan populasi mikroba tanah. Untuk itu diperlukan adanya suatu kegiatan sebagai upaya pelestarian lingkungan agar tidak terjadi kerusakan lebih lanjut. Upaya tersebut dapat ditempuh dengan cara merehabilitasi ekosistem yang rusak. Dengan rehabilitasi tersebut diharapkan akan mampu memperbaiki ekosistem yang rusak sehingga dapat pulih, mendekati atau bahkan lebih baik dibandingkan kondisi semula (Rahmawaty, 2002).

Kegiatan pertambangan bahan galian berharga dari lapisan bumi telah berlangsung sejak lama. Selama kurun waktu 50 tahun, konsep dasar pengolahan relatif tidak berubah, yang berubah adalah sekala kegiatannya. Mekanisasi peralatan pertambangan telah menyebabkan sekala pertambangan semakin membesar. Perkembangan teknologi pengolahan menyebabkan ekstraksi bijih kadar rendah menjadi lebih ekonomis, sehingga semakin luas dan semakin dalam mencapai lapisan bumi jauh di bawah permukaan. Hal ini menyebabkan kegiatan tambang menimbulkan dampak lingkungan yang sangat besar dan bersifat penting. Pengaruh kegiatan pertambangan mempunyai dampak yang sangat signifikan terutama berupa pencemaran air permukaan dan air tanah.

Sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui seperti minyak dan bahan tambang lainnya apabila diekstraksi harus dalam perencanaan yang matang untuk mewujudkan proses pembangunan nasional berkelanjutan (Arif, 2007). Di antara keberlanjutan pembangunan tersebut yaitu dapat terwujudnya masyarakat mandiri pasca penutupan/pengakhiran tambang (Pribadi, 2007). Aktifitas ekonomi tetap berjalan setelah pengakhiran tambang, dan tidak terjadi Ghost Town (Kota Hantu).

Daerah yang telah dilakukan pangakhiran tambang tidak selalu berdampak potensi bahan galiannya habis sama sekali. Komoditas bahan galian tertentu dapat masih tertinggal sebagai akibat tidak mempunyai nilai ekonomi bagi pelaku usaha yang bersangkutan. Akan tetapi sumber daya bahan galian tersebut dalam jangka panjang dapat berpeluang untuk diusahakan apabila antara lain terjadi perubahan harga atau kebutuhan yang meningkat signifikan.

Reklamasi lahan bekas tambang selain merupakan upaya untuk memperbaiki kondisi lingkungan pasca tambang, agar menghasilkan lingkungan ekosistem yang baik dan diupayakan menjadi lebih baik dibandingkan rona awalnya, dilakukan dengan mempertimbangkan potensi bahan galian yang masih terttinggal.

KEGIATAN PERTAMBANGAN DAN ASPEK LINGKUNGAN

Kegiatan pertambangan merupakan kegiatan usaha yang kompleks dan sangat rumit, sarat risisko, merupakan kegiatan usaha jangka panjang, melibatkan teknologi tinggi, padat modal, dan aturan regulasi yang dikeluarkan dari beberapa sektor. Selain itu, kegiatan pertambangan mempunyai daya ubah lingkungan yang besar, sehingga memerlukan perencanaan total yang matang sejak tahap awal sampai pasca tambang. Pada saat membuka tambang, sudah harus difahami bagaimana menutup tambang. Rehabilitasi/reklamasi tambang bersifat progresif, sesuai rencana tata guna lahan pasca tambang.

Tahapan kegiatan perencanaan tambang meliputi penaksiran sumberdaya dan cadangan, perancangan batas penambangan (final/ultimate pit limit), pentahapan tambang, penjadwalan produksi tambang, perancangan tempat penimbunan (waste dump design), perhitungan kebutuhan alat dan tenaga kerja, perhitungan biaya modal dan biaya operasi, evaluasi finansial, analisis dampak lingkungan, tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility) termasuk pengembangan masyarakat (Community Development) serta Penutupan tambang.

Perencanaan tambang, sejak awal sudah melakukan upaya yang sistematis untuk mengantisipasi perlindungan lingkungan dan pengembangan pegawai dan masyarakat sekitar tambang (Arif, 2007).

Kegiatan pertambangan pada umumnya memiliki tahap-tahap kegiatan sebagai berikut :

Eksplorasi

Ekstraksi dan pembuangan limbah batuan

Pengolahan bijih dan operasional pabrik pengolahan

Penampungan tailing, pengolahan dan pembuangannya

Pembangunan infrastuktur, jalan akses dan sumber energi

Pembangunan kamp kerja dan kawasan pemukiman.

Pengaruh pertambangan pada aspek lingkungan terutama berasal dari tahapan ekstraksi dan pembuangan limbah batuan, dan pengolahan bijih serta operasional pabrik pengolahan.

Ekstraksi dan Pembuangan Limbah Batuan

Diperkirakan lebih dari 2/3 kegiatan eksrtaksi bahan mineral di dunia dilakukan dengan pertambangan terbuka. Teknik tambang terbuka biasanya dilakukan dengan open-pit mining, strip mining, dan quarrying, tergantung pada bentuk geometris tambang dan bahan yang digali.

Ekstraksi bahan mineral dengan tambang terbuka sering menyebabkan terpotongnya puncak gunung dan menimbulkan lubang yang besar. Salah satu teknik tambang terbuka adalah metode strip mining (tambang bidang). Dengan menggunakan alat pengeruk, penggalian dilakukan pada suatu bidang galian yang sempit untuk mengambil mineral. Setelah mineral diambil, dibuat bidang galian baru di dekat lokasi galian yang lama. Batuan limbah yang dihasilkan digunakan untuk menutup lubang yang dihasilkan oleh galian sebelumnya. Teknik tambang seperti ini biasanya digunakan untuk menggali deposit batubara yang tipis dan datar yang terletak didekat permukaan tanah.

Teknik penambangan quarrying bertujuan untuk mengambil batuan ornamen, dan bahan bangunan seperti pasir, kerikil, bahan industri semen, serta batuan urugan jalan. Untuk pengambilan batuan ornamen diperlukan teknik khusus agar blok-blok batuan ornamen yang diambil mempunyai ukuran, bentuk dan kualitas tertentu. Sedangkan untuk pengambilan bahan bangunan tidak memerlukan teknik yang khusus. Teknik yang digunakan serupa dengan teknik tambang terbuka.

Tambang bawah tanah digunakan jika zona mineralisasi terletak jauh di bawah permukaan tanah sehingga jika digunakan cara tambang terbuka jumlah batuan penutup yang harus dipindahkan terlalu besar. Produktifitas tambang bawah tanah 5 sampai 50 kali lebih rendah dibanding tambang terbuka, karena ukuran alat yang digunakan lebih kecil dan akses ke dalam lubang tambang lebih terbatas.

Kegiatan ekstraksi menghasilkan limbah/waste dalam jumlah yang sangat banyak. Total waste yang diproduksi dapat bervariasi antara 10 % sampai sekitar 99,99 % dari total bahan yang ditambang. Limbah utama yang dihasilkan adalah batuan penutup dan limbah batuan. Batuan penutup (overburden) dan limbah batuan adalah lapisan batuan yang tidak/miskin mengandung mineral ekonomi, yang menutupi atau berada di antara zona mineralisasi atau batuan yang mengandung mineral dengan kadar rendah sehingga tidak ekonomis untuk diolah. Penutup umumnya terdiri dari tanah permukaan dan vegetasi sedangkan batuan limbah meliputi batuan yang dipindahkan pada saat pembuatan terowongan, pembukaan dan eksploitasi singkapan bijih serta batuan yang berada bersamaan dengan singkapan bijih.

Hal-hal pokok yang perlu mendapatkan perhatian pada kegiatan ekstraksi dan pembuangan limbah/waste agar sejalan dengan upaya reklamasi adalah :

Luas dan kedalaman zona mineralisasi

Jumlah batuan yang akan ditambang dan yang akan dibuang yang akan menentukan lokasi dan desain penempatan limbah batuan.

Kemungkinan sifat racun limbah batuan

Potensi terjadinya air asam tambang

Dampak terhadap kesehatan dan keselamatan yang berkaitan dengan kegiatan transportasi, penyimpanan dan penggunaan bahan peledak dan bahan kimia racun, bahan radio aktif di kawasan penambangan dan gangguan pernapasan akibat pengaruh debu.

Sifat-sifat geoteknik batuan dan kemungkinan untuk penggunaannya untuk konstruksi sipil (seperti untuk landscaping, dam tailing, atau lapisan lempung untuk pelapis tempat pembuangan tailing).

Pengelolaan (penampungan, pengendalian dan pembuangan) lumpur (untuk pembuangan overburden yang berasal dari sistem penambangan dredging dan semprot).

Kerusakan bentang lahan dan keruntuhan akibat penambangan bawah tanah.

Terlepasnya gas methan dari tambang batubara bawah tanah.

Pengolahan Bijih dan Operasional Pabrik Pengolahan

Pengolahan bijih akan menghasilkan limbah yang mempunyai karakteristik tergantung pada jenis bijih dan metoda pengolahannya. Penanganan dan penempatan limbah tersebut dalam rangka merehabilitasi/reklamasi lingkungan pasca tambang  mempertimbangkan karakteristik kimia dan fisika limbah.

Mekanisme pengolahan bijih tergantung pada jenis tambang. Umumnya pengolahan bijih terdiri dari proses benefication dimana bijih yang ditambang diproses menjadi konsentrat bijih untuk diolah lebih lanjut atau dijual langsung, diikuti dengan pengolahan metalurgi dan refining. Proses benefication umumnya terdiri dari kegiatan persiapan, penghancuran dan atau penggilingan, peningkatan konsentrasi dengan gravitasi atau pemisahan secara magnetis atau dengan menggunakan metode flotasi (pengapungan), yang diikuti dengan dewatering dan penyaringan. Hasil dari proses ini adalah konsentrat bijih dan limbah dalam bentuk tailing serta emisi debu. Tailing biasanya mengandung bahan kimia sisa proses dan logam berat.

Pengolahan metalurgi bertujuan untuk mengisolasi logam dari konsentrat bijih dengan metode pyrometalurgi, hidrometalurgi atau elektrometalurgi baik dilakukan sebagai proses tunggal maupun kombinasi. Proses pyrometalurgi seperti roasting (pembakaran) dan smelting menyebabkan terjadinya gas buang ke atmosfir (sebagai contoh: sulfur dioksida, partikulat dan logam berat) dan slag.

Proses pengolahan bijih bertujuan untuk mengatur ukuran partikel bijih, menghilangkan bagian-bagian yang tidak diinginkan, meningkatkan kualitas, kemurnian atau kadar bahan yang diproduksi. Proses ini biasanya terdiri dari : penghancuran, penggilingan, pencucian, pelarutan, kristalisasi, penyaringan, pemilahan, pembuatan ukuran tertentu, sintering (penggunaan tekanan dan panas dibawah titik lebur untuk mengikat partikel-partikel logam), pellettizing (pembentukan partikel-partikel logam menjadi butiran-butiran kecil), kalsinasi untuk mengurangi kadar air dan/atau karbondioksida, roasting (pemanggangan), pemanasan, klorinasi untuk persiapan proses lindian, pengentalan secara gravitasi, pemisahan secara magnetis, pemisahan secara elektrostatik, flotasi (pengapungan), penukar ion, ekstraksi pelarut, elektrowining, presipitasi, amalgamasi dan heap leaching.

Proses pengolahan yang paling umum dilakukan adalah pemisahan secara gravitasi (digunakan untuk cebakan emas letakan), penggilingan dan pengapungan (digunakan untuk bijih besi yang bersifat basa), pelindian (dengan menggunakan tangki atau heap leaching; pelindian timbunan (digunakan untuk bijih tembaga/emas kadar rendah, Gambar 1) dan pemisahan secara magnetis. Tipikal langkah-langkah pengolahan meliputi penggilingan, pencucian, penyaringan, pemilahan, penentuan ukuran, pemisahan secara magnetik, oksidasi bertekanan, pengapungan, pelindian, pengentalan secara gravitasi, dan penggumpalan (pelletizing, sintering, briquetting, dan nodulizing).

Proses pengolahan bijih menghasilkan partikel berukuran seragam, menggunakan alat penghacur dan penggilingan. Tiga tahap penghacuran umumnya diperlukan untuk memperoleh ukuran yang diingginkan. Hasil olahan bijih berbentuk lumpur, yang kemudian dipompakan ke proses pengolahan lebih lanjut.

Pemisahan magnetik digunakan untuk memisahkan bijih besi dari bahan yang memiliki daya magnetik lebih rendah. Ukuran partikel dan konsentrasi padatan menentukan jenis proses pemisahan magnetik yang akan digunakan.

Pengapungan (flotasi) menggunakan bahan kimia untuk mengikat kelompok senyawa mineral tertentu dengan gelembung udara untuk pengumpulan. Bahan kimia yang digunakan termasuk collectors, frothers, antifoams, activators, and depressants; tergantung karakteristik bijih yang diolah. Bahan kimia ini dapat mengandung sulfur dioksida, asam sufat, senyawa sianida, cressol, disesuaikan dengan karakteristik bijih yang ditambang.

Proses pemisahan gravitasi menggunakan perbedaan berat jenis mineral untuk meningkatkan konsentrasi bijih. Ukuran partikel merupakan faktor penting dalam proses pengolahan, sehingga ukuran tetap dijaga agar seragam dengan menggunakan saringan atau hydrocyclon. Tailing padat ditimbun di kolam penampungan tailing, airnya biasanya didaur ulang sebagai air proses pengolahan. Flokulan kimia seperti aluminium sulfat, kapur, besi, garam kalsium, dan kanji biasanya ditambahkan untuk meningkatkan efisiensi pemadatan.

Pelindian merupakan proses untuk mengambil senyawa logam terlarut dari bijih dengan melarutkan secara selektif senyawa tersebut ke dalam suatu pelarut seperti air, asam sulfat dan asam klorida atau larutan sianida. Logam yang diingginkan kemudian diambil dari larutan tersebut dengan pengendapan kimiawi atau bahan kimia yang lain atau proses elektrokimia. Metode pelindian dapat berbentuk timbunan, heap atau tangki. Metode pelindian heap leaching) banyak digunakan untuk pertambangan emas sedangkan pelindian dengan timbunan banyak digunakan untuk pertambangan tembaga.

Proses pengolahan batu bara pada umumnya diawali oleh pemisahan limbah dan batuan secara mekanis diikuti dengan pencucian batu bara untuk menghasilkan batubara berkualitas lebih tinggi. Dampak potensial akibat proses ini adalah pembuangan batuan limbah dan batubara tak terpakai timbulnya debu dan pembuangan air pencuci (Karliansyah, 2001).

LINGKUP REKLAMASI

Rehabilitasi lokasi penambangan dilakukan sebagai bagian dari program pengakhiran tambang yang mengacu pada penataan lingkungan hidup yang berkelanjutan. Kegiatan pengakhiran tambang emas Kelian di Kalimantan Timur merupakan yang pertama di Indonesia untuk pengakhiran tambang sekala besar, sehingga diupayakan dapat menjadi model percontohan di masa datang. Pola pengakhiran tambang yang dilakukan oleh KEM (Kelian Equatorial Mining) di Kalimantan Timur merupakan salah satu benchmark di Indonesia maupun pada tingkat internasional. Pengakhiran tambang yang dilakukan KEM dijadikan salah satu proyek percontohan program kemitraan pembangunan atau BPD (Business Partnership for Development) oleh pihak Bank Dunia (Inamdar dkk., 2002).

Salah satu kegiatan pengakhiran tambang, yaitu reklamasi, yang merupakan upaya penataan kembali daerah bekas tambang agar bisa menjadi daerah bermanfaat dan berdayaguna. Reklamasi tidak berarti akan mengembalikan seratus persen sama dengan kondisi rona awal. Sebuah lahan atau gunung yang dikupas untuk diambil isinya hingga kedalaman ratusan meter bahkan sampai seribu meter (Gambar 3), walaupun sistem gali timbun (back filling) diterapkan tetap akan meninggalkan lubang besar seperti danau (Herlina, 2004).

Pada prinsipnya kawasan atau sumberdaya alam yang dipengaruhi oleh kegiatan pertambangan harus dikembalikan ke kondisi yang aman dan produktif melalui rehabilitasi. Kondisi akhir rehabilitasi dapat diarahkan untuk mencapai kondisi seperti sebelum ditambang atau kondisi lain yang telah disepakati. Kegiatan rehabilitasi dilakukan merupakan kegiatan yang terus menerus dan berlanjut sepanjang umur pertambangan sampai pasca tambang.

Tujuan jangka pendek rehabilitasi adalah membentuk bentang alam (landscape) yang stabil terhadap erosi. Selain itu rehabilitasi juga bertujuan untuk mengembalikan lokasi tambang ke kondisi yang memungkinkan untuk digunakan sebagai lahan produktif. Bentuk lahan produktif yang akan dicapai menyesuaiakan dengan tataguna lahan pasca tambang. Penentuan tataguna lahan pasca tambang sangat tergantung pada berbagai faktor antara lain potensi ekologis lokasi tambang dan keinginan masyarakat serta pemerintah. Bekas lokasi tambang yang telah direhabilitasi harus dipertahankan agar tetap terintegrasi dengan ekosistem bentang alam sekitarnya.

Teknik rehabilitasi meliputi regarding, reconturing, dan penaman kembali permukaan tanah yang tergradasi, penampungan dan pengelolaan racun dan air asam tambang (AAT) dengan menggunakan penghalang fisik maupun tumbuhan untuk mencegah erosi atau terbentuknya AAT. Permasalahan yang perlu dipertimbangkan dalam penetapan rencana reklamasi meliputi :

Pengisian kembali bekas tambang, penebaran tanah pucuk dan penataan kembali lahan bekas tambang serta penataan lahan bagi pertambangan yang kegiatannya tidak dilakukan pengisian kembali

Stabilitas jangka panjang, penampungan tailing, kestabilan lereng dan permukaan timbunan, pengendalian erosi dan pengelolaan air

Keamanan tambang terbuka, longsoran, pengelolaan B3 dan bahaya radiasi

Karakteristik fisik kandungan bahan nutrient dan sifat beracun tailing atau limbah batuan yang dapat berpengaruh terhadap kegiatan revegetasi

Pencegahan dan penanggulangan air asam tambang, potensi terjadinya AAT dari bukaan tambang yang terlantar, pengelolaan tailing dan timbunan limbah batuan (sebagai akibat oksidasi sulfida yang terdapat dalam bijih atau limbah batuan)

Penanganan potensi timbulnya gas metan dan emisinya dari tambang batubara (Karliansyah, 2001).

Sulfida logam yang masih terkandung pada tailing atau waste merupakan pengotor yang potensial akan menjadi bahan toksik dan penghasil air asam tambang yang akan mencemari lingkungan, pemanfaatan sulfida logam tersebut merupakan salah satu alternatif penanganan. Demikian juga kandungan mineral ekonomi yang lain, diperlukan upaya pemanfaatan Penanganan/penyimpanan bahan galian yang masih potensial untuk menjadi bernilai ekonomi baik dalam kondisi in-situ, berupa tailing atau waste

LAHAN BEKAS TAMBANG SEBAGAI EKOSISTEM RUSAK

 Kegiatan pertambangan dapat berdampak pada perubahan/rusaknya ekosistem. Ekosistem yang rusak diartikan sebagai suatu ekosistem yang tidak dapat lagi menjalankan fungsinya secara optimal, seperti perlindungan tanah, tata air, pengatur cuaca, dan fungsi-fungsi lainnya dalam mengatur perlindungan alam lingkungan

Menurut Jordan (1985 dalam Rahmawaty, 2002), intensitas gangguan ekosistem dikategorikan menjadi tiga, yaitu :

1 ringan, apabila struktur dasar suatu ekosistem tidak terganggu, sebagai contoh jika sebatang pohon besar mati atau kemudian roboh yang menyebabkan pohon lain rusak, atau penebangan kayu yang dilakukan secara selektif dan hati-hati,

2. menengah, apabila struktur hutannya rusak berat/hancur, namun produktifitasnya tanahnya tidak menurun, misalnya penebangan hutan primer untuk ditanami jenis tanaman lain seperti kopi, coklat, palawija dan lain-lainnya,

3. berat, apabila struktur hutan rusak berat/hancur dan produkfitas tanahnya menurun, contohnya terjadi aliran lava dari gunung berapi, penggunaan peralatan berat untuk membersihkan hutan, termasuk dalam hal ini akibat kegiatan pertambangan.

REKLAMASI LAHAN BEKAS TAMBANG

Secara umum yang harus diperhatikan dan dilakukan dalam merehabilitasi/reklamasi lahan bekas tambang yaitu dampak perubahan dari kegiatan pertambangan, rekonstruksi tanah, revegetasi, pencegahan air asam tambang, pengaturan drainase, dan tataguna lahan pasca tambang.

Kegiatan pertambangan dapat mengakibatkan perubahan kondisi lingkungan. Hal ini dapat dilihat dengan hilangnya fungsi proteksi terhadap tanah, yang juga berakibat pada terganggunya fungsi-fungsi lainnya. Di samping itu, juga dapat mengakibatkan hilangnya keanekaragaman hayati, terjadinya degradasi pada daerah aliran sungai, perubahan bentuk lahan, dan terlepasnya logam-logam berat yang dapat masuk ke lingkungan perairan.

Rekonstruksi Tanah

Untuk mencapai tujuan restorasi perlu dilakukan upaya seperti rekonstruksi lahan dan pengelolaan tanah pucuk. Pada kegiatan ini, lahan yang masih belum rata harus terlebih dahulu ditata dengan penimbunan kembali (back filling) dengan memperhatikan jenis dan asal bahan urugan, ketebalan, dan ada tidaknya sistem aliran air (drainase) yang kemungkinan terganggu. Pengembalian bahan galian ke asalnya diupayakan mendekati keadaan aslinya. Ketebalan penutupan tanah (sub-soil) berkisar 70-120 cm yang dilanjutkan dengan re-distribusi tanah pucuk

Lereng dari bekas tambang dibuat bentuk teras, selain untuk menjaga kestabilan lereng, diperuntukan juga bagi penempatan tanaman revegetasi

Revegetasi

Perbaikan kondisi tanah meliputi perbaikan ruang tubuh, pemberian tanah pucuk dan bahan organik serta pemupukan dasar dan pemberian kapur. Kendala yang dijumpai dalam merestorasi lahan bekas tambang yaitu masalah fisik, kimia (nutrients dan toxicity), dan biologi. Masalah fisik tanah mencakup tekstur dan struktur tanah. Masalah kimia tanah berhubungan dengan reaksi tanah (pH), kekurangan unsur hara, dan mineral toxicity. Untuk mengatasi pH yang rendah dapat dilakukan dengan cara penambahan kapur. Sedangkan kendala biologi seperti tidak adanya penutupan vegetasi dan tidak adanya mikroorganisme potensial dapat diatasi dengan perbaikan kondisi tanah, pemilihan jenis pohon, dan pemanfaatan mikroriza.

Secara ekologi, spesies tanaman lokal dapat beradaptasi dengan iklim setempat tetapi tidak untuk kondisi tanah. Untuk itu diperlukan pemilihan spesies yang cocok dengan kondisi setempat, terutama untuk jenis-jenis yang cepat tumbuh, misalnya sengon, yang telah terbukti adaptif untuk tambang. Dengan dilakukannya penanaman sengon minimal dapat mengubah iklim mikro pada lahan bekas tambang tersebut. Untuk menunjang keberhasilan dalam merestorasi lahan bekas tambang, maka dilakukan langkah-langkah seperti perbaikan lahan pra-tanam, pemilihan spesies yang cocok, dan penggunaan pupuk.

Untuk mengevaluasi tingkat keberhasilan pertumbuhan tanaman pada lahan bekas tambang, dapat ditentukan dari persentasi daya tumbuhnya, persentasi penutupan tajuknya, pertumbuhannya, perkembangan akarnya, penambahan spesies pada lahan tersebut, peningkatan humus, pengurangan erosi, dan fungsi sebagai filter alam. Dengan cara tersebut, maka dapat diketahui sejauh mana tingkat keberhasilan yang dicapai dalam merestorasi lahan bekas tambang (Rahmawaty, 2002).

Penanganan Potensi Air Asam Tambang

Pembentukan air asam cenderung intensif terjadi pada daerah penambangan, hal ini dapat dicegah dengan menghindari terpaparnya bahan mengandung sulfida pada udara bebas.

Secara kimia kecepatan pembentukan asam tergantung pada pH, suhu, kadar oksigen udara dan air, kejenuhan air, aktifitas kimia Fe3+, dan luas permukaan dari mineral sulfida yang terpapar pada udara. Sementara kondisi fisika yang mempengaruhi kecepatan pembentukan asam, yaitu cuaca, permeabilitas dari batuan, pori-pori batuan, tekanan air pori, dan kondisi hidrologi. Penanganan air asam tambang dapat dilakukan dengan mencegah pembentukannya dan menetralisir air asam yang tidak terhindarkan terbentuk. Pencegahan pembentukan air asam tambang dengan melokalisir sebaran mineral sulfida sebagai bahan potensial pembentuk air asam dan menghindarkan agar tidak terpapar pada udara bebas. Sebaran sulfida ditutup dengan bahan impermeable antara lain lempung, serta dihindari terjadinya proses pelarutan, baik oleh air permukaan maupun air tanah

Produksi air asam sulit untuk dihentikan sama sekali, akan tetapi dapat ditangani untuk mencegah dampak negatif terhadap lingkungan. Air asam diolah pada instalasi pengolah untuk menghasilkan keluaran air yang aman untuk dibuang ke dalam badan air. Penanganan dapat dilakukan juga dengan bahan penetral, umumnya menggunakan batugamping, yaitu air asam dialirkan melewati bahan penetral untuk menurunkan tingkat keasaman (Suprapto, 2006).

Pengaturan Drainase

Drainase pada lingkungan pasca tambang dikelola secara seksama untuk menghindari efek pelarutan sulfida logam dan bencana banjir yang sangat berbahaya, dapat menyebabkan rusak atau jebolnya bendungan penampung tailing serta infrastruktur lainnya. Kapasitas drainase harus memperhitungkan iklim dalam jangka panjang, curah hujan maksimum, serta banjir besar yang biasa terjadi dalam kurun waktu tertentu baik periode waktu jangka panjang maupun pendek.

Arah aliran yang tidak terhindarkan harus meleweti zona mengandung sulfida logam, perlu pelapisan pada badan alur drainase menggunakan bahan impermeabel. Hal ini untuk menghindarkan pelarutan sulfida logam yang potensial menghasilkan air asam tambang

Tataguna Lahan Pasca Tambang

Lahan bekas tambang tidak selalu dekembalikan ke peruntukan semula. Hal ini tertgantung pada penetapan tata guna lahan wilayah tersebut. Pekembangan suatu wilayah menghendaki ketersediaan lahan baru yang dapat dipergunakan untuk pengembangan pemukiman atau kota. Lahan bekas tambang bauksit sebagai salah satu contoh, telah diperuntukkan bagI pengembangan kota Tanjungpinang . Reklamasi lahan bekas tambang bauksit untuk pemukiman dan pengembangan kota,Tanjungpinang, Bintan (Rohmana dkk., 2007)

Pemilihan spesies untuk revegetasi terkait juga tataguna lahan pasca tambang. Perkembangan harga minyak bumi akhir-akhir ini, memberikan peluang untuk pengembangan bio-energi, diantaranya dengan pengembangan tanaman jarak pagar untuk menghasilkan minyak. Sebagian lahan bekas tambang telah dicanangkan untuk program pengembangan bio-energi tersebut (Gambar 9). Kelebihan jarak pagar adalah selain mampu mereklamasi bekas lahan tambang dalam waktu singkat, tanaman ini juga menghasilkan sumber energi terbarukan biodisel (Soesilo, 2007 dalam Ridwan, 2007).

ASPEK KONSERVASI BAHAN GALIAN

Reklamasi lahan bekas tambang terkait dengan upaya konservasi untuk mendapatkan manfaat yang optimal dari potensi bahan galian. Upaya konservasi tidak menghendaki adanya potensi bahan galian yang tidak dimanfaatkan. Oleh karena itu reklamasi lahan bekas tambang harus mempertimbangkan potensi bahan galian yang masih ada. Baik bahan galian utama yang karena kualitas atau kadarnya belum mempunyai nilai ekonomi, bahan galian lain diluar yang diusahakan serta komoditas bahan galian yang masih terkandung pada tailing

Operasional kegiatan pertambangan pada tahap penambangan dan pengolahan umumnya tidak mendapatkan perolehan 100%, yang berarti masih ada bahan galian yang tertinggal dalam kondisi in situ, sebagai waste atau pada tailing. Bahan galian tertinggal pada wilayah bekas tambang tersebut pada beberapa kasus, kembali ditambang, baik oleh pelaku usaha pertambangan atau oleh masyarakat.

Penambangan bahan galian tertinggal khususnya oleh masyarakat atau PETI terjadi pada wilayah bekas tambang lama ataupun yang belum lama dilakukan reklamasi (Gambar 10), bahkan ketika kegiatan usaha pertambangan masih berlangsung pada blok yang berbeda. Mengingat hal tersebut, maka agar reklamasi dapat berhasil dengan baik, bahan galian tertinggal tidak turun nilainya dan berpeluang untuk kembali diusahakan, perlu dilakukan langkah penanganan dan perlindungan sebagai berikut :

Bahan galian tertinggal yang secara ekonomi berpotensi diusahakan untuk pertambangan rakyat atau pertambangan sekala kecil, perlu dilakukan sterilisasi, dengan menambang dan mengolahnya sehingga tidak ada lagi yang tersisa. Sebagai contoh, pada pengakhiran tambang emas Kelian di Kalimantan Timur, endapan emas aluvial yang ada, ditambang dengan target perolehan 100% adalah untuk menghilangkan risiko kemungkinan gangguan terhadap lahan basah di masa mendatang (Inamdar dkk., 2002

Bahan galian yang telah terganggu keberadaannya, seperti telah tersimpan di stock pile akan tetapi mempunyai kualitas atau kadar yang belum mempunyai nilai ekonomi, harus disimpan pada lokasi dengan penanganan agar tidak turun nilai ekonominya dan apabila akan dimanfaatkan dapat dengan mudah digali.

Bahan galian in situ yang karena dimensi atau kadarnya belum mempunyai nilai ekonomi agartidak menjadi areal penimbunan waste atau tailing untuk mencegah turunnya nilai ekonomi

Akibat perkembangan teknologi atau harga sehingga komoditas bahan galian dan atau mineral ikutannya menjadi mempunyai nilai ekonomi, maka kegiatan usaha pertambangan untuk mengusahakan komoditas tersebut dapat dilakukan dengan mengikuti aturan perundang undangan yang berlaku.

KESIMPULAN

Pada pasca tambang, kegiatan yang utama dalam merehabilitasi lahan yaitu mengupayakan agar menjadi ekosistem yang berfungsi optimal atau menjadi ekosistem yang lebih baik. Reklamasi lahan dilakukan dengan mengurug kembali lubang tambang serta melapisinya dengan tanah pucuk, dan revegetasi lahan serta diikuti dengan pengaturan drainase dan penanganan/pencegahan air asam tambang.

Penataan lahan bekas tambang disesuaikan dengan penetapan tata ruang wilayah bekas tambang. Lahan bekas tambang dapat difungsikan menjadi kawasan lindung ataupun budidaya.

Lahan pasca tambang memerlukan penanganan yang dapat menjamin perlindungan terhadap lingkungan, khsususnya potensi timbulnya air asam tambang, yaitu dengan mengupayakan batuan mengandung sulfida tidak terpapar pada udara bebas, serta dengan mengatur drainase.

Bahan galian yang mengandung komoditas masih mempunyai peluang untuk menjadi ekonomis perlu penanganan dan penyimpanan yang baik agar tidak turun nilai ekonominya, serta apabila diusahakan dapat digali dengan mudah.

Diupayakan agar tidak ada bahan tambang ekonomis yang masih tertinggal. Hal ini terutama bahan galian yang potensial mengundang masyarakat atau PETI untuk memanfaatkannya, sehingga akan mengganggu proses reklamasi, maka perlu disterilkan terlebih dahulu dengan menambang dan mengolahnya.


Tinjauan pustaka

Arif, I., 2007. Perencanaan Tambang Total Sebagai Upaya Penyelesaian Persoalan Lingkungan Dunia Pertambangan, Universitas Sam Ratulangi, Manado

Herlina, 2004. Melongok Aktivitas Pertambangan Batu Bara Di Tabalong, Reklamasi 100 Persen Mustahil. Banjarmasin Post, Banjarmasin

Inamdar, A., dan Makinuddin, N., 2002. Kelian Mine Closure Steering Committee, Independent Facilitator’s Report

Pribadi, P., 2007. Peranan Asosiasi Dalam Peningkatan Kualitas Program

Senin, 23 November 2009

UPAYA MEMITIGASI INDUSTRIALISASI PERKOTAAN

oleh: Elfidiah (20093602005)


I. Pendahuluan

Latar Belakang Masalah

Berkembangnya industri di dalam negeri disadari mampu memberikan pengaruh positif berupa berkembangnya perekonomian nasional yang selanjutnya akan berpengaruh positif terhadap terbukanya kesempatan kerja yang semakin luas, meningkatnya devisa negara dari ekspor, meningkatnya penerimaan negara baik dari pajak maupun non pajak (PNBP), dan meningkatnya pendapatan per kapita masyarakat. Namun demikian, tumbuhnya industri ternyata membawa efek negatif berupa timbulnya pencemaran lingkungan di daerah atau kota yang terdapat banyak sentra industri. Pencemaran lingkungan umumnya terjadi oleh pencemaran udara

(polusi) dan pencemaran air yang timbul dari pembuangan limbah cair(liquid) dan p adat( solid). Kita ketahui.emisi co2 perkapita tahun 2006 adalah 4 ton.

Pembangunan Nasional yang dilaksanakan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup rakyat melalui pembangunan jangka panjang, salah satunya adalah pembangunan di bidang industri. Pembangunan di bidang industri tersebut di satu pihak akan menghasilkan produk atau barang yang bermanfaat bagi kesejahteraan hidup rakyat, namun di lain pihak kegiatan tersebut akan menghasilkan limbah seperti limbah padat, gas maupun limbah cair.Kegiatan manusia dari berbagai kegiatan industri, di lapangan (seperti deforestasi) atau yang berkaitan dengan transportasi atau rumah tangga menghasilkan gas yang jumlahnya terus meningkat, terutama gas karbon dioksida dan metan, yang diemisikan ke atmosfer. Setiap tahunnya emisi tersebut menambah jumlah karbondioksida yang telah ada di atmosfer sekitar tujuh ribu juta ton, yang umumnya akan tetap tinggal di atmosfer selama ratusan tahun atau lebih (Houngton, 2004). Oleh karena karbondioksida dapat menyerap dengan baik radiasi panas yang berasal dari permukaan bumi lebih panas daripada semestinya. Selain itu, kegiatan industri yang menghasilkan metan dari limbah ikut berperan menyumbang panas. Dengan meningkatnya suhu, maka jumlah uap air di atmosfer juga meningkat sehingga menambah jumlah ‘penyelimutan’dan menyebabkan bertambah panasnya permukaan bumi. Bertambahnya suhu global terutama akibat pesatnya perkembangan industri memicu terjadinya perubahan iklim global, dengan kata lain terjadi pemanasan global, istilah yang akhir-akhir ini akrab di telinga kita.

Adanya limbah industri terutama dari limbah cair yang mencemari lingkungan dan pemanasan global yang berdampak pada perubahan yang besar pada iklim di bumi. Perubahan seperti ini, terutama perubahan yang terjadi dengan laju yang sangat cepat mengakibatkan sulitnya ekosistem dan manusia (terutama di negara berkembang) untuk beradaptasi. Karenanya penting dilakukan upaya mitigasi lingkungan yaitu upaya-upaya untuk mencegah dampak negatif yang diperkirakan akan terjadi atau telah terjadi karena adanya rencana kegiatan atau menanggulangi dampak negatif yang timbul sebagai akibat adanya suatu kegiatan/usaha. Salah satunya dengan melakukan pengendalian pencemaran untuk Berkaitan dengan hal tersebut, diperlukan upaya-upaya untuk menanggulangi dampak negatif dari industri diperkotaan agar dapat difungsikan kembali bagi keperluan masyarakat. Salah satu upaya yang layak dipertimbangkan oleh pemerintah daerah adalah penanaman pohon disetiap sudut kota dengan demikian upaya memitigasi dapat terwujud dan dana untuk pengendalian bisa dialihkan untuk kesejahteraan masyarakat seperti untuk bimbingan penyuluhan tentang cara menjaga lingkungan seperti dampak pembakaran hutan dll.

2.Tinjauan pustaka

Pemanasan Global dan Penanaman pohon

pemanasan global adalah isu lingkungan terpenting sekarang. Daniel Esty dan Andrew Winston dalam Green to Gold membuat peringkat 10 isu lingkunganpaling berpengaruh terhadap bisnis, dan perubahan iklim yang disebabkan olehpemanasan global menempati urutan teratas. Berbeda dengan kebanyakan isulingkungan yang bersifat lokal, pemanasan global ini akan mengenai—dan berasal dari—setiap orang. Indonesia sendiri, menurut modelyang dikembangkan Dr. Armi Susandi,MT dari ITB akan mengalami penambahan suhu sebesar 3 hingga 3,5 derajat Celsiusada tahun 2100 dibandingkan suhu pada tahun 1990.Sebagaimana yang banyak dituliskan, dari empat penyebab emisi terbesar, tiga diantaranya disebabkan oleh aktivitas perusahaan, yaitu dalam pembangkitan energi (40%),industri (17%) dan transportasi (20%).Ketiganya konsisten muncul padaperhitungan global maupun Indonesia,hanya urutannya saja yang berbeda.2Peringkat berikutnya baru diduduki olehaktivitas konsumsi oleh rumah tangga(14%). Peringkat yang berbeda—dan lebihkomprehensif—ditunjukkan oleh dataglobal yang disajikan oleh Stern Review

(lihat diagram lingkaran di samping) untuk Penanaman pohon—terutama di wilayah tropis merupakan salah satu di antara banyak hal penting yang bias dilakukan untuk beradaptasi

Sekaligus memitigasi dampak pemanasan global.emisi tahun 2000.3 Sayangnya laporan tersebut tidak menyediakan data mutakhir. Halini berarti bahwa partisipasi perusahaan dan masyarakat dalam mengatasi pemanasanglobal adalah mutlak diperlukan, apabila mereka hendak menyatakan diri sebagai wargadunia yang bertanggung jawab.Dalam berbagaikesempatan, sangat jelas terlihat banyak pihak menyetujui bahwapenanaman pohon—terutama di wilayah tropis—merupakan salah satu di antara banyak hal penting yang bisa dilakukan untuk beradaptasi sekaligus memitigasi dampak pemanasan global. Hal itu disarankan oleh Al Gore dalam buku dan filmnya AnInconvenient Truth, seorang pemrasaran di acara Padamu Negeri MetroTV tanggal 26 April 2007 lalu, juga di banyak kesempatan lainnya. Di sisi lain, ada banyak usulan yang masuk sekarang untuk melakukan jeda tebang, misalnya dari WALHI, Partai Kebangkitan Bangsa, serta Direktur Eksekutif KEHATI. Masing-masing menyebutkan jangka waktu yang berbeda-beda. Bisa dimengerti mengapa jeda tebang kini banyak didengungkan, terutama karena deforestasi di Indonesia memang menyebabkan Indonesia banyak sekali mengemisi gas rumah kaca. Boleh jadi, jeda tebang merupakan solusi temporer yang diperlukan oleh lingkungan, namun karena kompleksitas ekonomi dan sosial, hal tersebut tampaknya mustahil dilakukan secara masif dan dalam jangka waktu yang panjang. Ada terlalu banyak orang di Indonesia yang hidup dengan mengandalkan hasil hutan kayu dan turunannya, sementara alternatif sumber penghidupan lainnya sulit untuk dibuat dalam waktu singkat.

3. Permasalahan yang dihadapi

Melakukan penanaman pohon merupakan salah satu cara untuk memigasi dampak indusrialisasi, cara yang selain memang sangat diperlukan karena kemampuan menyerap CO2 serta logam berat—lebih masuk akal. Namun demikian, bukankah sudah banyak pula “gerakan penanaman sejuta pohon” yang dicanangkan? Mengapa pula harus ada satu lagi undangan tambahan untuk gerakan semacam itu? Jawabannya adalah:

1 . Masalah lingkungan kita sedemikian besar dan kompleks sehingga tambahan sumber daya selalu diperlukan.

2.hingga sekarang tampaknya belum ada catatan keberhasilan masif yang bisa kita lihat dari

gerakan-gerakan sebelumnya

3. Perusahaan sebagai pengemisi terbesar—dengan mengingat ada beberapa perkecualian—belum juga menganggap bahwa penanaman pohon adalah bentuk CSR yang sangat penting.

4.masyarakat secara umum juga belum menganggap penanaman pohon sebagai cara untuk melindungi generasi sekarang dan mendatang dari dampak pemanasan global. Padahal, perhitungan dari pemodelan menyatakan bahwa bagaimanapun kita akan menghadapi kenaikan suhu yang signifikan, sehingga regulasi iklim mikro adalah cara yang sangat penting untuk mengurangi dampak pemanasan global.

5 .penanaman pohon sering dihinggapi penyakit seremonial., pencanganan biasanya dilakukan oleh pejabat pemerintah dan atau pimpinan perusahaan. 3 dan tidak pernah lagi melakukan pengecekan atas apa yang terjadi kemudian.

6 .Gerakan penanaman pohon juga terlalu sering dicanangkan oleh pemerintah dan partai politik, sehingga muatan politisnya terlalu kental. Kentalnya muatan politis membuat gerakan dijauhi oleh mereka yang bukan simpatisan pandangan politik itu. Selain itu, ketika tujuan pendongkrakan citra politis sudah diperoleh, gerakan kemudian langsung mati.

7 .pertimbangan keekonomian, gerakan penanaman juga terlalu sering dilakukan dengan pendekatan projek skala besar. Konsekuensinya banyak, namun yang paling penting adalah bahwa itu sangat rawan korupsi atas sumberdaya (baca: uang rakyat) yang dialokasikan. Harga perhektar yang dicanangkan di Jakarta menyusut entah menjadi tinggal berapa persennya ketika itu hendak diaplikasikan di lapangan. Akibatnya, jumlah pohon yang ditanam juga menghalami penyusutan, demikian juga alokasi untuk masukan lain seperti pupuk dan pemeliharaan. Pendekatan projek juga membuat gerakan mati begitu sumberdaya finansial pendukungnya habis.

8 .Kebanyakan projek di Indonesia, gerakan penanaman pohon kebanyakan tidak melibatkan masyarakat, walaupun jargon partisipasi banyak digunakan. Masyarakat kerap hanya dilibatkan untuk menanam pohon, dan tidak yang lainnya.

3.Pemyelesaian masalah.

1.Masyarakat sebagai Penanam dan Pemelihara Pohon

Sangat jelas bahwa masyarakat adalah pihak yang paling berkepentingan dengan dampak pemanasan global. Terlepas dari kenyataan bahwa aktivitas rumah tangga “hanyalah” penyumbang keempat—bahkan akan turun peringkatnya kalau LULUCF diperhitungkan—dalam emisi karbon, namun yang akan merasakan dampak pemanasan global utamanya adalah mereka. Dalam dunia akademik terdapat perdebatan apakah pemanasan global harus diatasi dengan prinsip “poluters pay”—prinsip yang menyatakan bahwa mereka yang mencemari adalah yang berkewajiban membiayai upaya perbaikan lingkungan—atau “beneficiaries pay”—prinsip yang menyatakan bahwa mereka yang menikmati jasa lingkunganlah yang harus menbayar jasa tersebut. Namun dalam hal pemanasan global perdebatan itu menjadi kurang penting karena masyarakat tetaplah yang akan menjadi penderitanya. Kalau kita gunakan prinsip pertama, pertanyaan yang paling relevan adalah: berapa sesungguhnya pencemaran yang dilakukan oleh individu? Jawaban atas pertanyaan ini

sangat tergantung pada asumsi yang dipergunakan. Kalau kita asumsikan bahwa seluruh pencemaran sesungguhnya berasal dari resultante kebutuhan dan aktivitas individu— walaupun perusahaan yang kemudian benar-benar mengeluarkan emisi karbon, maka jumlah seluruh emisi karbon kemudian dibagi dengan jumlah penduduk. Tentu saja, kita bisa mendapatkan angka di tingkat global dan di tingkat nasional untuk itu. Menggunakan angka di tingkat global kemudian menggunakannya untuk menentukan berapa tanggung jawab masing-masing indinvidu di Indonesia tentu saja tidak adil. Terdapat kesenjangan yang sangat besar antarnegara dalam hal emisi karbon ini, sehingga IPCC menyatakan bahwa sebetulnya tanggung jawab dalam mengatasi pemanasan global adalah bersifat “common but differentiated”. Amerika Serikat, menurut data tahun 2005 mengemisi 21,2% dari total emisi karbon dunia, dan Cina mengemisi 18,5%-nya.4 Setiap individu AS kini tercatat mengemisi rata-rata 25,9 ton karbon pertahun, jauh melampaui rataan emisi warga dunia, termasuk Indonesia. Kalau seluruh emisi karbon dari kegiatan ekonomi Indonesia sepanjang tahun dibagi dengan jumlah total penduduk Indonesia, maka emisi karbon perkapita tahun 2006 adalah 4 ton.5 Dengan demikian maka setiap warga Indonesia sesungguhnya berhutang kepada alam untuk melakukan aktivitas yang bisa mengurangi karbon sejumlah 4 ton pula, agar tidak menjadi penyumbang bagi pemanasan global. Tentu saja, sebenarnya terdapat perbedaaan yang mencolok antara mereka yang tinggal di perkotaan dengan yang di pedesaan, yang kaya dengan yang miskin, dan sebagainya. Mereka yang mengkonsumsi energi sangat besar—yaitu kaum kaya di perkotaan—punya “dosa karbon” yang jauh lebih besar dibandingkan mereka yang di pedesaan. Boleh jadi, ada kelompok-kelompok tertentu di Indonesia yang emisinya menyamai atau bahkan melampaui emisi rataan warga AS. Apa yang bisa dilakukan individu untuk mengurangi karbon sebanyak itu? Buat individu yang kaya, ada banyak cara untuk mengurangi karbon sebanyak yang mereka emisikan— inilah yang disebut carbon offset. Mereka bisa melakukan penghematan energi dengan berbagai cara: menggunakan sumber energi matahari untuk pemanas, mengganti seluruh bola lampu dengan yang lebih hemat energi, serta mengganti mobil boros bensin dengan yang lebih hemat atau bahkan versi hibridnya.4 5 Firdaus, F. 2007.Komunikasi pribadi dengan Ari Muhammad, Koordinator Nasional UNFCCC dari WWF Indonesia, Juli 2007. Untuk mereka yang berkemampuan ekonomi lebih rendah, alias masyarakat pada umumnya, salah satu pilihan yang paling baik adalah melakukan penanaman pohon.

Secara rataan, dalam satu daur hidupnya setiap pohon dapat menghisap karbon sebanyak

1 ton. Karena itu, setiap warga Indonesia berhutang 4 pohon kepada lingkungan pada tahun lalu saja. Dengan kecenderungan meningkatnya emisi, maka di tahun-tahun mendatang jumlah hutang itu akan juga meningkat. Perhitungan ini akan membuat warga yang berkesadaran lingkungan akan menanam pohon minimal sebanyak itu setiap tahunnya. Karenanya, sangat penting bagi siapapun yang memperjuangkan pengurangan dampak pemanasan global untuk memromosikan “hutang karbon” ini kepada kelompokkelompok masyarakat yang potensial untuk menerimanya: pelajar, mahasiswa, pekerja kelas menengah, dsb. Kalau kelompok-kelompok itu mau menerima bahwa memang mereka berhutang 4 pohon kepada lingkungan, maka mereka akan dapat memengaruhi lebih banyak lagi pihak. Kalau ini terjadi, harapan bagi partisipasi masyarakat luas untuk menanam—dan memeliharanya sepanjang daur hidup—pohon akan bisa diwujudkan.

2.Perusahaan: Carbon Offset sebagai bagian dari CSR

CSR atau tanggung jawab sosial perusahaan kini semakin popular. Berbagai peristiwa di

tingkat internasional maupun nasional membuktikan bahwa semakin banyak perusahaan yang menerima tanggung jawab yang lebih luas daripada sekadar tanggung jawab menghasilkan profit untuk pemilik modalnya. Walau definisi CSR itu beragam, namunkonvergensi dengan pembangunan berkelanjutan membuat pengertiannya adalah: upaya sungguh-sungguh dari entitas bisnis untuk meminimumkan dampak negatif dan memaksimumkan dampak positif operasinya terhadap seluruh pemangku kepentingan dalam ranah ekonomi, sosial dan lingkungan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Jadi, bila sebuah perusahaan ingin dinyatakan sebagai perusahaan yang bertanggung jawab, syarat utamanya adalah ia mengetahui secara persis apa saja dampak dari operasinya, baik negatif maupun positif. Dampak negatif itu kemudian diminimumkan dengan pengelolaan, dan apabila tidak bisa menjadi nol maka harus ada upaya mengkompensasi itu, sementara dampak positifnya dimaksimumkan. Kalau hal ini diterjemahkan ke dalam isu pemanasan global, maka perusahaan yang bertanggung jawab haruslah menghitung dengan presisi tinggi emisi karbonnya. Tujuan tertinggi adalah membuat sebuah proses produksi yang netral karbon. Buat perusahaan, jalan utamanya ada dua: carbon offset dan penggantian ke teknologi yang lebih ramah atmosfer alias beremisi lebih kecil (nol?).

Kalau pertanyaan kritis kita lontarkan: berapa proporsi perusahaan yang mengetahui secara tepat berapa emisi karbon yang dihasilkan dari aktivitas produksinya? Jawabannya tentu saja sangat kecil, karena perhitungan itu memang tidak dipersyaratkan dalam regulasi manapun. Hanya sebagian sangat kecil dari AMDAL yang mencantumkan perhitungan itu. Aktivitas yang mendukung produksi, semisal transportasi pekerja, hampir-hampir tidak pernah dihitung. Padahal, untuk industri yang berada di tempat-tempat yang jauh—biasanya migas dan pertambangan—para pekerjanya menempuh jarak ratusan bahkan ribuan kilometer dengan pesawat terbang yang menghamburkan berton-ton karbon ke atmosfer.

Ada berbagai aktivitas yang termasuk ke dalam carbon offset, yaitu seluruh aktivitas yang bisa mengurangi emisi CO2 seperti penanaman pohon, penggunaan energi berkelanjutan

(air, angin, dsb.), dan efisiensi energi. Seluruh kegiatan tersebut harus diketahui dampak pengurangan emisinya (sudah ada ukuran-ukuran itu, misalnya—seperti yang telah dikemukakan pada bagian sebelumnya—menanam dan memelihara pohon sepanjang daur hidupnya akan menyerap emisi sebanyak 1 ton), sehingga perhitungan antara emisi suatu kegiatan dengan pengurangnya bisa diseimbangkan. Di Eropa perhitungannya sudah lebih maju, karena orang atau perusahaan sudah bisa mengonversi emisi ke dalam uang yang dibayarkan kepada organisasi yang melakukan kegiatan-kegiatan di atas. Harga carbon offset di Eropa sekarang adalah 12 USD untuk tiap ton emisi—sehingga, misalnya ketika seseorang terbang dari London ke New York yang menghasilkan emisi 1,7 ton, maka ia kemudian membayar sekitar 20 USD kepada organisasi tertentu. Tentu saja, kalau hendak memiliki dampak positif atas iklim, maka kegiatan pengurangan emisi bisa ditingkatkan lagi, di atas tingkat emisi yang dihasilkan, atau membayar lebih tinggi untuk harga karbon yang diemisikan. Penanaman pohon buat perusahaan juga merupakan salah satu cara melakukan carbon offset. Perusahaan yang mengetahui persis jumlah emisinya bisa membayar semacam pajak karbon untuk setiap kilogram atau ton emisinya. Ada beberapa lembaga yang bisa menerima itu, dengan berbagai kegiatan yang membuat volume karbon di atmosfer berkurang. Banyak di antaranya yang melakukan penanaman pohon itu. Namun, perusahaan juga bisa melakukannya sendiri, dengan jalan menghitung kewajiban berapa pohon yang harus ditumbuhkannya setelah mengetahui emisinya. Secara kasar, sepanjang daur hidupnya satu pohon bisa mengkonsumsi 1 ton CO2, walaupun tentu saja ada yang lebih besar dan lebih kecil daripada itu. Sehingga, kalau sebuah perusahaan misalnya mempunyai emisi 10.000 ton karbon setiap tahunnya, maka sejumlah 10.000 pohon harus ditanam dan dipelihara untuk membuat proses produksinya netral karbon. Itupun baru dapat dikatakan bahwa perusahaan itu telah meminimumkan dampak negatifnya, kalau hendak memaksimumkan dampak positifnya, penanaman pohon yang harus dilakukan tentu saja harus melampaui itu. Ada juga pemikiran bahwa perusahaan dan konsumennya harus berbagi kewajiban penanaman pohon itu. Salah satu hal yang penting didiskusikan adalah sampai di mana tanggung jawab perusahaan: apakah ketika produknya diserahkan pada konsumen? Pendekatan daur hidup produk menyatakan bahwa tanggung jawab perusahaan sebetulnya hingga batas usia produk, namun ini bukan satu-satunya pendirian. Pada industri otomotif, misalnya, emisi karbon akan terjadi mulai dari proses produksinya (di tangan perusahaan) hingga masa akhir penggunaannya (di tangan konsumen). Apakah perusahaan hanya bertanggung jawab pada emisi karbon atas proses produksinya mobil atau motor tersebut, lalu konsumen bertanggung jawab untuk seluruh emisi yang dihasilkan oleh setiap liter pembakaran BBM hingga mobil/motor itu rusak atau berpindah tangan? Mungkin diskusi pembagian tanggung jawab itu tidak akan selesai segera. Namun ide dasarnya adalah bahwa dengan mengemukanya isu perubahan iklim, maka dengan segera CSR akan dinilai juga dari apa yang dilakukan oleh perusahaan untuk mengatasi pemanasan global. Penanaman pohon sebagai bentuk CSR adalah jalan yang tampaknya akan bisa diterima oleh banyak pihak di Indonesia, mengingat deforestasi membutuhkan upaya penanganan yang serius.

3.Emisi dari Aktivitas: Seandainya Pameran Gaikindo Mau Melakukan Carbon

Offset

Aktivitas tertentu yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah yang besar seperti pameran besar serta konser musik juga dapat dijadikan sebagai sumberdaya untuk melakukan penanaman pohon. Sama dengan apa yang harus dilakukan perusahaan, aktivitas beremisi besar juga harus menghitung emisinya kemudian melakukan upaya menetralkannya. Jadi, apabila, misalnya, pameran mobil Gaikindo hendak melakukan carbon offset atas emisi dari pameran dan mobil yang terjual selama kegiatan pameran yang dimulai awal minggu ketiga Juli 2007 lalu, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah menghitung seluruh emisi CO2 yang dihasilkan selama proses produksi setiap jenis kendaraan yang hendak dijual dalam ajang pameran, kemudian menghitung total emisi dari seluruh mobil yang benar-benar terjual. Untuk meningkatkan akuntabilitas dan transparensi, maka sebaiknya ada verifikasi dari pihak ketiga yang kredibel dan independen. Kalau verifikasi ini hendak dilakukan, maka Gaikindo diharapkan dapat menyediakan data awal berupa: ATPM yang ikut serta, jenis mobil yang dijual, teknologi yang dipergunakan dalam pembuatan mobil maupun teknologi mobil itu, proses asembling, data awal tentang emisi yang dimiliki masing-masing ATPM, dan (setelah pameran) komposisi mobil yang terjual. Berikutnya, mengikuti kelaziman carbon offset suatu pameran, maka emisi yang dikeluarkan oleh pengunjungnya untuk mendatangi lokasi pameran juga perlu dihitung. Hal ini dilakukan dengan menanyakan alamat seluruh pengunjung, dengan kendaraan apa mereka sampai ke pameran, kemudian menghitung perkiraan emisinya. Perkiraan emisi secara lebih kasar juga mungkin dilakukan dengan jalan mengasumsikan jarak tempuh dan jenis kendaraan yang dipergunakan oleh pengunjung. Misalnya diasumsikan 30% dari 50.000 pengunjung datang dengan kendaraan pribadi dengan jarak tempuh rata-rata 25 kilometer, maka angka emisi bisa diperoleh dengan cepat. Agar asumsi tidak terlampau meleset, Gaikindo dapat melakukan survei terbatas, misalnya pada 5% pengunjung. Yang juga sangat penting dihitung adalah emisi yang berasal dari penggunaan energi selama pameran berlangsung. Konsumsi listrik yang besar selama beberapa hari tentu saja juga menyebabkan tingkat emisi yang tinggi. Kalau kegiaatan pamerannya sendiri hendak berlabel “pameran hijau”, maka penetralan terhadap emisi dari pengunjung dan konsumsi listrik sangat penting dilakukan.

Hal yang perlu dipertimbangkan juga adalah apakah Gaikindo hanya akan bertanggung jawab atas emisi selama produksi ataukah emisi sepanjang daur hidup produk otomotif. Dalam konsep CSR yang paling maju, perusahaan bertanggung jawab atas dampak sepanjang daur hidup produknya atau dikenal dengan istilah product stewardship. Kalau pendekatan paling maju ini hendak dipergunakan, maka emisi kendaraan perkilometer atau perkiraan pertahun perlu dihitung juga, kemudian dikalikan dengan perkiraan kilometer total atau usia kendaraan hingga tidak bisa dipergunakan lagi. Kalau Gaikindo berpendirian bahwa emisi CO2 yang terjadi setelah produk berpindah tangan kepada konsumen adalah tanggung jawab konsumen, maka setidaknya setiap ATPM harus (1) memberikan informasi mengenai emisi perkilometer, (2) memberikan informasi mengenai dampak emisi atas pemanasan global, sehingga konsumen juga bisa memilih untuk melakukan carbon offset, kalau kesadaran lingkungan mereka menuntun mereka berbuat demikian. Sebagai gambaran, harga carbon offset untuk setiap kendaraan yang dikenakan oleh Terra Pass, sebuah organisasi yang mengelola upaya carbon offset di Amerika Serikat adalah 30-80 USD per tahun. Harga 30 USD adalah untuk mobil hibrida, sementara 80 USD dikenakan kepada SUV. Tentu saja, konsumen juga bisa memilih untuk menanam dan memelihara pohon sesuai dengan tonase emisi mereka.

4.Beberapa Pertimbangan dalam Penanaman pohon

Begitu total emisi sudah diperhitungkan, maka harus ditetapkan jumlah total pohon yang akan ditanam, jenis pohon yang akan ditanam, serta tempat penanaman pohon. Jumlah pohon yang akan ditanam sangatlah tergantung komposisi dari jenis yang hendak ditanam dengan pertimbangan kemampuan menyerap karbonnya. Secara rataan memang setiap pohon akan menyerap 1 ton CO2 sepanjang daur hidupnya, namun tentu saja variasi kemampuan itu tetap ada. Mengenai jenis, ada baiknya dipertimbangkan untuk tidak hanya menanam satu jenis melainkan beragam. Ini untuk kebaikan keanekaragaman hayati. Selain itu, jenis pohon juga harus disesuaikan dengan tempat (peta kesesuaian lahan dapat diperoleh dengan mudah, atau bisa juga bertanya kepada Dinas Pertanian setempat). Berkenaan dengan tempat, yang sangat penting dipertimbangkan adalah apakah ada jaminan bahwa dalam waktu yang cukup lama pohon tersebut bisa hidup dan berfungsi menyerap CO2, karena kalau hal tersebut tidak dapat dijamin maka sia-sialah seluruh pekerjaan, dan tujuan carbon offset tidak bisa tercapai. Karenanya, menanam di lahanlahan yang ditetapkan fungsinya oleh pemerintah sebagai lahan konservasi (taman nasional, cagar alam, suaka margasatwa, dsb.), atau di tempat-tempat yang ditetapkan sebagai taman kota/ruang terbuka hijau (Dinas Pertamanan setempat pasti memiliki peta ini), atau lahan milik pribadi yang berkomitmen tinggi pada lingkungan akan lebih menjamin terpeliharanya pohon hingga daur hidupnya mencapai klimaks. Pilihan berikutnya adalah menanam di lahan yang berstatus “kritis” karena mengalami proses penggundulan. Lahan konservasi—dengan berbagai status legalnya—merupakan pilihan yang sangat strategis untuk melakukan penanaman pohon. Mungkin banyak pihak berpikir bahwa kawasan-kawasan konservasi tentulah terjaga kelestariannya sehingga tidak perlu ditanami lagi. Sayangnya pendirian tersebut tidak sepenuhnya tepat. Sejak satu dekade lalu, deforestasi semakin menghebat terjadi termasuk di kawasan-kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Malahan, ada kecenderungan perusakan kawasan konservasi di berbagai tempat menjadi lebih cepat dibandingkan kawasan lainnya, karena pada periode sebelumnya kawasan kolnservasi relatif terjaga, sehingga kemudian tempat-tempat itu dianggap memliki potensi kayu yang jauh lebih baik. Departemen Kehutanan—tentu saja—memiliki informasi mengenai di mana saja kawasan konservasi yang mengalami kerusakan dan perlu mendapat perhatian segera. Yang perlu dirundingkan adalah bagaimana Departemen Kehutanan—mungkin melalui kerjasama dengan masyarakat—dapat melakukan pengelolaan kawasan yang telah ditanami itu dengan baik sehingga tidak terjadi perambahan di kemudian hari. Ruang terbuka hijau, termasuk taman-taman kota yang ditetapkan oleh pemerintah daerah juga merupakan tempat penanaman pohon yang tepat. Pemerintah daerah manapun juga pasti memiliki tempat-tempat yang sudah diincar dijadikan ruang terbuka hijau, sehingga mereka yang hendak menanam pohon juga bisa menanyakan peta rencana ruang-ruang itu, kemudian menanyakan bagaimana cara membantu pemerintah daerah mewujudkannya. Adakalanya tempat yang diincar masih berstatus milik pihak lain sehingga harus dibebaskan terlebih dahulu. Dalam hal ini, mungkin, perusahaanlah atau kelompok masyarakat kaya yang dapat membantu pemerintah daerah membeli tanah-tanah yang strategis itu. Yang paling penting dalam hal ini adalah transparensi maksimum mengenai sumberdaya finansial yang digunakan. Kalau bantuan itu diberikan, pemerintah daerah sudah seharusnya memberikan pengakuan yang layak. Mengenai kegunaan ruang terbuka hijau sendiri, banyak pihak yang sudah menuliskannya Di bawah ini adalah tiga contoh yang diambil dari berselancar dunia maya. Walaupun informasinya tidak konsisten atau memerlukan penjelasan lebih lanjut—misalnya tentang berapa sesungguhnya oksigen yang diproduksi pohon—atau tidak lengkap satuannya, namun kutipan-kutipan berikut memang menunjukkan bahwa ruang terbuka hijau adalah penting bagi kehidupan manusia sehingga harus diperjuangkan keberadaan dan kecukupan jumlahnya

1. Dari http://merdeka.or.id/2007/02/20/oksigen-pohon/:

“...satu orang perlu oksigen 175,244 kg/tahun. pohon sehat setinggi 32 feet (9,75 m) menghasilkan oksigen 118,040 kg/tahun. 1 acre pepohonan bisa mencukupi oksigen untuk 18 orang dan menyerap karbondioksida dari mobil yang berjalan sekitar 26 ribu mile (41.834 km). Pohon besar menyerap kira-kira 120-240 pounds partikel kecil atau gas polutan.”

2. Dari http://www.pikira rakyat.com/cetak/2005/0505/23/teropong/lainnya3.htm:

“Padahal, idealnya...40 persen dari jumlah penduduk. Jumlah tersebut dihitung dengan rumusan jumlah penduduk x 0,5 kg oksigen x 1 pohon : 1,2 kg. (”GM”, 5/10/2000).”

3. Dari http://www.kompas.com/kompas-cetak/0406/07/Properti/1063304.htm:

”Mereka tahu persis betapa pentingnya RTH sebagai paru-paru kota bagi kota dan warga. Sebagai perbandingan, satu hektar RTH mampu menetralisasi 736.000 liter limbah cair hasil buangan 16.355 penduduk; menghasilkan 0,6 ton oksigen guna dikonsumsi 1.500 penduduk perhari; menyimpan 900 m3 air tanah per tahun; mentransfer air 4.000 liter per hari atau setara dengan pengurangan suhu lima sampai delapan derajat Celsius, setara dengan kemampuan lima unit alat pendingin udara berkapasitas 2.500 Kcal/20 jam; meredam kebisingan 25-80 persen; dan mengurangi kekuatan angin sebanyak 75-80 persen. SINGAPURA paham betul bahwa pohon sebagai jantungnya paru-paru kota merupakan produsen oksigen yang belum tergantikan fungsinya. Sebagai patokan, pada lahan seluas 1.600 meter persegi, yang terdapat 16 pohon berdiameter tajuk 10 m mampu menyuplai oksigen (O2) sebesar 14.000 liter perorang. Setiap jam, satu hektar daun-daun hijau dapat menyerap delapan kilogram CO2 yang setara dengan CO2 yang diembuskan oleh napas manusia sekitar 200 orang dalam waktu yang sama. Jika satu liter O2 hanya dihargai Rp 100, maka sebatang pohon menghemat biaya oksigen sebesar Rp 1.400.000 per hari, Rp 42 juta per bulan, dan Rp 511 juta per tahun per orang!” Kalau kegunaan di atas terutama adalah kegunaan ekologis, artikel Jennifer Ackerman juga menjelaskan kegunaan-kegunaan sosialnya.6 Mengutip penelitian Frances Kuo dari University of Illinois, ia menyatakan bahwa “mereka yang tinggal...dekat area-area hijau memiliki rasa kemasyarakatan yang lebih kuat dan lebih baik dalam mengatasi tekanan dan kesulitan hidup.” Juga “Semakin hijau lingkungan sekitar...semakin rendah tingkat kriminalitas terhadap manusia dan properti.” Kalau pemanasan global akan meningkatkan suhu rata-rata di Indonesia mungkin hingga 3,5 derajat Celcius antara tahun 1990-2100, suhu di bawah pohon yang rindang dinyatakan Ackerman bisa lebih6 Ackerman, J. 2007. Ruang bagi Jiwa. National Geographic Indonesia. Maret. dingin hingga 4 derajat Celcius. Bahkan antara naungan pohon dengan aspal bisa terdapat perbedaan suhu hingga 20 derajat Celcius! Ini menunjukkan bahwa pepohonan memang sangat penting dalam “menetralkan” atau setidaknya mengurangi dampak pemanasan global melalui regulasi iklim mikro. Hanya kota-kota yang berhasil menghijaukan dirinyalah yang akan dapat menghadapi pemanasan global dengan segala dampak ekologi dan sosialnya. Dengan demikian, kampanye terhadap pentingnya ruang terbuka hijau—dan partisipasi perusahaan dan masyarakat dalam mewujudkannya— memang harus dilakukan dengan jauh lebih serius. Kalau tidak, perusahaan dan masyarakat juga yang kelak akan menangguung akibat dari gersangnya perkotaan.

Dalam eksekusinya, yang penting diperhatikan adalah aktivitas dan pihak penyelenggara. Secara kasar, akan ada tiga aktivitas yang harus terselenggara dengan baik setelah izin tempat untuk penanaman diperoleh, yaitu persemaian, penanaman dan pemeliharaan. Dalam kebanyakan kegiatan penanaman pohon, terdapat kecenderungan untuk menyemai dengan terlalu cepat tanpa mempertimbangkan kesiapan pohon untuk ditanam. Aktivitas penanamanpun, terutama kalau dilakukan dalam skala besar, banyak dilakukan tanpa kehati-hatian, sehingga proporsi tanaman yang mati menjadi tinggi. Mereka yang hendak melakukan penanaman pohon harus memastikan bahwa baik persemaian maupun penanaman harus dilakukan dengan hati-hati. Dalam hal pemeliharaan, penting diperhatikan upaya penyulaman (penggantian tanaman yag mati) sehingga jumlah pohon yang hidup menjadi tepat seperti yang dijanjikan. Kepastian itu harus diperoleh sampai umur pohon tertentu ketika angka kematian sedemikian kecil. Karenanya, pemilihan pihak yang akan melaksanakan penanaman dan pemeliharaan menjadi sangat penting. Pihak itu bisa pemerintah, swasta maupun masyarakat, atau gabungan dua atau ketiganyaYang juga sangat penting untuk diingat adalah pemeliharaan bukannya tidak membutuhka. Yang jelas, pelibatan masyarakat sangatlah penting karena di lapangan merekalah yang banyak tahu. Yang juga sangat penting untuk diingat adalah pemeliharaan bukannya tidak membutuhkan biaya, sehingga pihak yang melakukan penanaman pohon harus bersedia mengeluarkan sumberdaya untuk itu.


5.Kesimpulan dan Saran

5.1 Kesimpulan.

Dari hasil pengamatan yang ada didaerah dan pusat serta kondisi riil di lapangan, maka didapat beberapa kesimpulan yaitu:

1. Pemda-Pemda Kota maupun Kabupaten layak untuk menerbitkan Perda tentang dampak dari limbah industri ,terutama kota-kota besar seperti Palembang,Medan, Batam, Denpasar, dan Makasar. Karena disinyalir banyaknya polusi limbah yang diakibatkan oleh proses produksi perusahaan/industri yang ada di daerah. Hal ini memerlukan penanggulangan dengan segera agar kerusakan lingkungan tidak semakin parah.

2. Pendapat yang menganggap bahwa masalah limbah cukup diatur dalam ijin gangguan (ijin HO) adalah tidak tepat, karena dari hasil evaluasi, ijin gangguan (ijin HO) mengatur masalah gangguan yang sangat luas, sehingga tidak mungkin bagi Pemerintah Daerah melakukan pengawasan, pengendalian dan pengelolaan limbah dengan mengandalkan penerimaan dari penerbitan ijin gangguan (ijin HO).

3. Belum ada langkah yang serius dari Pemerintah Daerah untuk mengatasi masalah limbah r terutama yang berkaitan dengan masalah keterbatasan dana.

5.2 Saran

Pemerintah Daerah disarankan untuk membuat peraturan daerah tentang memitigasi limbah industri dalam rangka menjalankan fungsinya sebagai pengawas, pengendali dan pengelola limbah yang membutuhkan dana cukup besar. Pembuatan perda memitigasi limbah dari industri tersebut layak diterapkan di daerah dilihat dari berbagai segi baik potensi, kondisi keuangan daerah, kesiapan administrasi, dan kemauan politik dari pimpinan daerah.

Disamping itu, penerapan perda limbah industri tersebut sejalan dengan undang-undang dan peraturan yang ada, dimana Pemerintah Daerah dapat menggali sumber dana dari perusahaan industrip sekaligus melakukan fungsi pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. .


Daftar pustaka

Firdaus, F. 2007.Komunikasi pribadi dengan Ari Muhammad, Koordinator Nasional UNFCCC dari Stern, N. 2007.

Stern Review: The Economics of Climate Change. Cambridge University Press.

WWFIndonesia, Juli2007

Makalah dipresentasikan pada seminar yang diselenggarakan Dinas Pertamanan DKI Jakarta tanggal 2Agustus 2007. Sebagian isi makalah ini pernah dipublikasikan di www.csrindonesia.com dalam judul

Penanaman pohon sebagai Bentuk CSR yang Penting” atas nama Jalal dan ”Gagasan Carbon Offset untuk

Pameran Mobil Gaikindo 2007” atas nama Jalal, Nasrullah Salim dan Muhammad Suhud.

2 Emisi karbon serta gas rumah kaca lainnya sebetulnya terdiri dari emisi alamiah serta emisi buatan

manusia. Emisi yang disebut di atas adalah emisi buatan manusia saja, dengan ”mengabaikan” faktor

LULUCF (Land Use, Land Use Change and Forestry) yang juga berperan besar dalam emisi gas rumah kaca.

Angka-angka dari Indonesia dalam kurung dikutip dari Firdaus, F. 2007. Menangguk Laba dari Gas Rumah

Kaca. National Geographic Indonesia, Maret 007